Suku Makki
Judul : Suku Makki
Penulis : Silas Salamangy
Tahun Terbit : 2021, Cetakan Kedua, Edisi Berwarna.
Kategori : Referensi
ISBN : 978-623-96707-2-6
Ukuran : 14x20
Ada dua hal yang mendorong saya menulis sejarah orang-orang Makki. Pertama, sejak tahun 1953, Kalumpang mulai aman dari gangguan keamanan dari DI/TII. Tahun 1954 jalan mulai terbuka untuk pergi ke kota setelah dua tahun daerah ini tertutup. Orang Kalumpang sudah dapat bepergian ke luar kota, ke Makassar misalnya, untuk melanjutkan pendi-dikan dengan menempuh dua jalur jalan, yakni melalui Toraja dan melalui Mamuju-Majene, kendati belum sepenuhnya aman.
Marthen Poya’, sahabat dan sekaligus kerabat dalam keluarga saya, berasal dari dari dusun Dengen. Ia datang ke Makassar melalui Mamuju-Majene pada tahun 1951. Saya menyusulnya enam tahun kemudian melalui Toraja. Pada tahun 1959, di halaman rumah Om Tamallo, di jalan gunung Latimojong lr. 100 A, saya bercakap-cakap dengan sahabat saya ini. Dalam percakapan itu ia sempat mengatakan bahwa orang Kalumpang yang datang ke Makassar tergolong suku Toraja, dan yang datang ke Makassar melalui Mamuju-Majene masuk suku Mandar. Saya yang datang ke Makassar pada tahun di mana keamanan belum stabil sepenuhnya karena gerombolan dan Pasukan Andi Sose yang mengganggu keamanan di Toraja, mendengar pernyataan itu menangkap kesan bahwa suku Mandar dianggap lebih baik dari suku Toraja. Saya menjadi tersinggung, lalu meninju muka Marthen, dan berbalas pukul-memukul pun tak terhindarkan. Ia kemudian menaiki sepeda, tetapi saya tetap mengejarnya hingga ke simpang empat Masjid Raya. Di sana kami kembali berkelahi. Tak berselang lama, seorang sahabat Marthen melerai perselisihan kami.
Hal kedua yang mendasari saya menulis sejarah ini ialah peristiwa pada tahun 1980. Ketika itu ada surat-surat saya yang harus dibubuhi tanda tangan Kapolres Mamuju. Sementara petugas mengagendakan surat-surat saya, ia bertanya kepada saya: Apakah ada orang Mandar di Kalumpang? Saya jawab, tentu ada satu dua orang Mandar datang ke Kalumpang, tetapi saya tidak mengenalnya.
“Yang saya maksudkan suku Mandar yang tinggal di Kalumpang. Saya tadi melayani orang yang berasal dari Kalumpang. ‘Saya tanya kamu suku apa?’ Karena harus ditulis dalam formulir isian. Ia mengatakan saya dari suku Mandar.”
Mendengar penjelasan Pak Polisi, saya menerka-nerka bahwa ada orang sekampung saya yang mengaku suku Mandar.
Karena kedua peristiwa itu, maka pada suatu hari Minggu saya minta izin kepada majelis gereja untuk berbicara sejenak kepada jemaat. Saya menerangkan bahwa banyak orang Kalumpang malu mengaku sebagai orang Kalumpang. “Orang Mamasa, orang Toraja dan orang Mandar..., kita semua sama karena nenek moyang kita bersaudara.”
Orang Mandar sesungguhnya berlatar belakang Suku Makki. Pengakuan ini tercatat di pelbagai tulisan-tulisan mengenai sejarah Mandar dan beberapa di antaranya saya kutip ke dalam buku ini.
Buku "Suku Makki dalam Lintasan Sejarah" hadir bagaikan bayi yang lahir sebelum waktunya karena berbagai sarana dan prasarana pendukung tidak memadai. Yang ingin saya lakukan adalah menggali pertanyaan-pertanyaan mengenai sejarah dan kebudayaan yang dikandung oleh “Litak To Makki”.
Sudah tentu segala pertanyaan yang muncul mungkin tidak akan menemukan jawaban yang memuaskan. Saya menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam buku ini, tetapi saya berharap kehadirannya mengandung bibit kehidupan, lalu berkecambah, dan akhirnya ditumbuh-kembangkan oleh generasi masa kini dan akan datang karena mereka hidup dalam dunia modern. Dikatakan dunia modern karena segala sesuatu yang mengikuti perilaku manusia serba modern baik transportasi, ilmu pengetahuan, teknologi maupun dalam hal kebudayaan. Hal ini tentu memaksa semua generasi yang ingin maju memacu diri dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi.