Esai yang baik adalah yang mengambil posisi tengah—bentuknya menyerupai fiksi, ada tokoh, ada setting, kalau perlu ada plot, dan isinya merupakan sesuatu yang bersifat faktual atau sungguh-sungguh ada. Jika mengamati dengan kriteria tersebut, esai yang terkumpul pada buku ini nyaris mendekati bentuk penulisan esai yang sempurna. Penulis dalam hampir semua esainya telah menetapkan sebuah latar: kota Parepare sebagai kota tua yang lama digelutinya. Di dalamnya kita bersua dengan tokoh-tokoh (tokoh di sini tidak harus manusia) dan, sebagai pembaca dapat kita menarik sebuah jalan cerita setelah tuntas membacanya. Latar Kota Parepare inilah terjadi semua 'peristiwa' yang diceritakannya, dan tokoh-tokohnya seperti perpustakaan; komunitas literasi; politik praktis; dan sebagainya dipertautkan oleh penulis dengan berbagai referensi dan perbandingan-perbandingan yang luas. Bingkai acuan (frame of referensi) luas yang dimiliki penulisnya melengkapkan esai ini menjadi bacaan yang bernas. Namun di sisi lain tetap menjadi bacaan yang ringan, dapat dinikmati dengan santai tanpa harus mengerutkan dahi untuk memahaminya.

Enam belas esai yang terhimpun pada buku ini tampaknya sengaja dipilih oleh penulis atau editornya sebagai bacaan pelengkap literasi budaya kontekstual: Kota Parepare.  Namun demikian keluasan wawasan dan frame of reference menyebabkan esai-esai ini juga terkesan sebagai bacaan universa lyang enak dibaca dan diinterpretasi sebagai kota mana saja sebagai latar.