To Ugi (Klub Baca Sampan edisi Juni)
Kategori : Reportase
Penulis : Mursyiduddin
Editor : Tim SI
Cuplikan Video Klub Baca Sampan: To Ugi
Jumat, 28 Juni 2024, setelah salat Isya digelar, pelataran Gedung Tomalebbi mulai didatangi oleh orang-orang. Gedung itu didirikan tahun 1989 dan merupakan salah satu pusat kegiatan anak muda pada tahun 2000-an awal sampai dengan tahun 2006.. Di tempat itu dahulu, nyaris setiap bulan dilaksanakan festival musik. Beberapa tahun belakangan, Gedung Tomalebbi sudah jarang digunakan. Namun, halamannya sekarang menjadi tempat sejumlah orang-orang tua untuk berkumpul dan bercerita. Klub Baca Sampan edisi Juni ini menghadirkan buku karya Andi Rahmat Munawar berjudul To Ugi sebagai topik diskusi buku. Penutur utama dalam kesempatan ini ialah Opu Matoa Cenrana Andi Oddang To Sessungriu.
Setelah membuka forum, moderator terlebih dahulu menyilakan teman-teman peserta yang sudah membaca buku To Ugi untuk memberikan pandangan singkatnya. Kesempatan pertama disampaikan oleh Ibrah La Iman. Baginya, hadirnya buku To Ugi adalah hal yang menggembirakan. Selanjutnya, giliran Syahrani Said yang mengemukakan kesannya setelah membaca karya putra daerah Kabupaten Wajo tersebut.
Di forum itu, selain menjelaskan isi buku To Ugi, Opu juga mengomparasikan buku itu dengan buku karya Christian Peltras berjudul Manusia Bugis. "Ibarat rumah", kata Opu, "Peltras mendeskripsi dan menjelaskan rumah dari luar, sedangkan Andi Rahmat Munawar menyajikan pandangan dari dalam rumah."
Klub Baca Sampan edisi ini berlangsung meriah dan bergembira. Ada sajian permainan biola dari Alif Faturrahman dan pembacaan puisi oleh Ibrahim La Iman. Yang hadir pun tidak hanya datang dari warga Parepare, tetapi juga dari temen-temen penggiat komunitas literasi asal Sidrap, Pinrang, dan beberapa orang mahasiswa program studi Ilmu Sejarah Unhas.
Beragam pertanyaan muncul dalam sesi tanya-jawab. Suharsono, laki-laki muda asal Pinrang, menanyakan bagaimana konstruksi keidentitasan Bugis? Pertanyaan lainnya yang ia ajukan ialah mengapa bentuk aksara Bugis rata-rata berbentuk lancip? Selanjutnya, giliran Bapak Musyarif, salah seorang dosen IAIN yang mengajukan pertanyaan mengenai asal usul rumpun keilmuan Bugis, baik epistemologi, ontologi, dan aksiologi.
Penanya terakhir diajukan oleh Dirja Wiharja. “Aganna tau’e nariyaseng Ogi? Engka gah tanra naita mata? Makkeda nangnge mallifa’i tau’e Ogi’i, namaega tannia to Ogi mallifa’ to. Paita gah yero Ogina tau’e, nariyaseng Ogi?” tanyanya. Ia melanjutkan, “Engka gah tanra naita yee mata kassara’tae? Supaya bisa langsung, oo Ogi. Afa’ maigani tannia Ogi macca mabbasa Ogi. Iye. Mr. Douglas mega nisseng kapang naidi makkekkue. Jaji yemiro mee wakkutanang iyya’. Engka gah tanrana sehingga ketika kita melihat orang atau bercengkrama gah apa, langsung, oo Ogi ye! Ataukah Bugis itu sebenarnya bentuknya adalah consciousness, kesadaran. Jadi seluruh khazanah kebudayaan kita itu, mau kita padatkan kristalkan, kemudian kita bikin big bang, kemudian dia akan menyebar di atmosfir alam semesta kita, dan semua orang bisa menghirupnya. Sehingga nigi-nigi bolai siri, pacce dan semua itu, mangogi, Ogi ni asenna. Apakah seperti itu? Atau engka memeng tanranna niyaseng Ogi tau’e, engka tanranna yaseng tau’e selleng’i.”
Di bawah langit jumat malam tak berhias gemintang, Andi Oddang To Sessungriu menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan. “Orang Bugis memang tidak ada masalah dengan nama. Orang Bugis itu dari dulu terbuka. Sampai saya pernah berpikir—kita memang mentalnya orang Bugis itu kadang-kadang memang kayak inverior atau kadang-kadang banyak mengagumi orang dan mudah untuk mencontoh orang lain kalau memang kenyataannya itu lebih bagus,” katanya.
Klub Baca Sampan malam itu diakhiri tepat pukul 23.00. []