Teraweh Terjauh
Kategori : cerpen
Penulis : Muliadi G.F.
Editor : Ilham Mustamin
Teraweh Terjauh

Malam ini aku mengunjungi diriku, diriku pada malam ke-14 Ramadan tahun 2014. Aku menemukannya bersila di sayap kiri masjid, menancapkan mata dan telinganya ke profil seseorang di mimbar.

Orang itu terlihat sangat tinggi. Mungkin karena tubuhnya kurus dan mimbarnya di mataku menjelma robot besar yang dikendarai antagonis utama film Avatar. (Namun, saat ceramahnya tandas dan ia turun bergabung di barisan jamaah yang memasang kuda-kuda teraweh, tampaklah tubuhnya sebenarnya tak terlalu tinggi.) Wajahnya mengingatkanku pada purnawirawan tentara, dengan jakun terukir tegas di langsing lehernya.

Ceramahnya bergizi, tentu saja, karena tidak ada ceramah yang tak bergizi. Namun begitu, ingatanku tentangnya sungguh tak lengkap dan terpenggal-penggal: keburukan gosip, betapa agama melarang menggunjingkan kejelekan orang, kisah Rasulullah saw menutupi dengan halus insiden sahabatnya yang kentut setelah makan daging unta, juga perbandingan dengan tingkah umat kiwari menyikapi kasus serupa, dan terakhir, yang ini serupa panah dibidikkan khusus ke dahiku, tentang keunggulan salat berjamaah di masjid (atau mabbere jama’ ri masigi’e).

Ia menarik panah itu pas ketika aku menggelar sajadah. Aku baru saja masuk masjid dan aku percaya semua orang melihatku, seperti biasanya bila menampak seseorang tampil beda dengan masuk masjid saat jamaah lain tengah khidmat menyimak ceramah. “Salat di masjid sebanding dengan 27 kali salat di rumah,” kata si penceramah, anak-anak panahnya, yang bikin kepalaku kena telak. Darah malu pun mengucur membasahi keterlambatanku. Aku baru datang dan memang langsung duduk, tidak salat Isya dulu sebagaimana jamaah beberapa saat sebelum itu.

Perhitunganku melenceng bagai dari bumi ke bulan; kukira salat Isya sudah lunas di masjid itu. Sebelumnya di rumah, kudengar corong suara masjid terdekat menerbangkan suara imam tengah menakhodai jamaah salat Isya. Pikirku: salat Isya saja di rumah, baru kemudian ke masjid untuk teraweh. Namun di atas motor, kuabaikan masjid terdekat itu demi masjid lain di kampung sebelah, kampung tempat uwakku tinggal.

“Ini sudah terawehkah, Pak?” tanyaku kepada polisi yang tampak seperti sengaja merendam kepalanya dengan asap rokok di depan masjid.

“Belum,” jawabnya, “baru rakaat ketiga Isya, ko masuk saja.”

Aku keluar saja. Motorku pamit kepada gerbang dan kubawa ia bertandang ke rumah Uwak, rumah yang pernah kutinggali kala SMP.

Uwak merokok Bintang Mas. Kumintalah rokoknya sebatang. Dan sebatang rokok kemudian, aku berwudu lagi dan kembali ke masjid. Masuk, duduk, dan panah penceramah pun menusuk. Kata-katanya sepele memang, tapi tetap saja menohok.

Aku serius mendengarkan ceramah tidak lama. Aku-ku yang lain mulai berjalan-jalan: ia pergi ke rumah, ke sawah, ke kampus, ke tempat kerja, ke tempat futsal, ke mana saja, semaunya. Ia juga pergi ke Beberapa Saat ke Depan untuk menuliskan semua yang kualami saat di masjid.

Namun setelah beberapa lama di Beberapa Saat ke Depan itu, ia melemparkan maaf padaku karena hanya bisa menulis catatan yang sepele, yang jauh dari standar memuaskan. Aku menudingnya:

“Ke masjid, kembalilah saja ke masjid!” kataku.

Sambil meringis, ia pergi terbirit-birit ala tokoh kartun, dengan kaki menjelma satu roda berputar kencang, ngacir kembali ke masjid.

Aku menemukannya kembali beberapa lama kemudian di pintu samping masjid. Kulihat air wudu di lengannya sudah direbut kegelapan angin saat sebelumnya ia bermotor. Ia bebaskan gulungan lengan baju kokonya menutupi pergelangan tangan. Sandal-sandal bergelimpangan di muka pintu. Ia menendang sepasang sandal demi sebuah tempat bagi pasangan sandalnya yang berbahagia. Lalu ia masuk, dan menyembul dari balik remang pintu samping masjid, tepat di depan saf perempuan. Kemunculannya bagai aba-aba hadap serong kiri bagi mukena-mukena pelbagai warna untuk menoleh, meneliti, menilai, bahkan sepertinya ada yang mulai menuduh: “Dasar pemalas!”

Ia memasang leher ayam bangkok dan berjalan maju hingga ke deret terbelakang jamaah laki-laki yang duduk bersila. Seseorang berbalik dengan senyum tercetak di wajah, dan ia pun tersenyum menyamakan kedudukan. Namun, ia merasa sebagian orang lagi punya mata tikus Ratatouille di balik punggung baju sembahyang mereka. Ia mendudukkan mata dan pantatnya ke lantai, seraya memamerkan gestur mengeluh “aduh-jam-tanganku-mendadak-mati”, dan baru mengangkat wajah saat yakin ia telah siap menghadapi semua, tepat ketika orang-orang sebenarnya sudah tak peduli padanya. Kecuali satu orang: si penceramah! Panah pun meluncur! Ia melompat kabur dan kembali ke hadapanku.

“Tidak, tidak. Ia menyinggungku,” katanya.

“Itu urusanmu. Kau yang mulai, kau pula yang mesti akhiri,” kataku.

“Baiklah. Sini pulpenmu, biar aku akhiri,” kata dia, aku-ku yang lain itu.

Ia menulis, sementara aku duduk senyap menyimak bunyi goresan pulpennya di kertas. Sebentar saja. Seperti biasa aku lekas bosan berdiam-diam. Aku melirik apa yang ditulisnya, membacanya, melepaskan kontrol diri demi terserap olehnya, agar dapat menghayatinya kembali sebagaimana ketika mengalaminya di Beberapa Saat Sebelumnya.

Sebelum penceramah bergabung ke saf teraweh, dia diserbu bocah-bocah yang bagai kawanan lalat mengerubungi pepaya bonyok memintanya menandatangani buku Amaliah Ramadan mereka. Dengan satu telunjuknya, ia melemparkan kata-kata ke arah belakang: “Nanti saja ya setelah salat.” Kawanan itu pun tempias ke belakang.

Imam berdiri, orangnya masih muda, pipinya bercambang tipis dan baju kokonya warna cokelat. Sejurus kemudian, takbir diangkat. Dan pengeras suara di leher baju koko cokelat itu membentangkan kalimat mulia “Allahu Akbar” ke seantero masjid, menyentuh telinga seluruh jamaah.

Aku berdiri di kiri seorang remaja yang tingginya serata telingaku. Jamaah berdiri sangat rapat di saf ini sehingga lengan-lengan kami, yang nyaris serupa ranting-ranting kayu pada talud buatan berang-berang, bersenggolan manakala kami mengangkat tangan bangkit dari rukuk. Sedikit menjengkelkan, sebenarnya. Tapi aku sedang salat, perasaan seperti itu tentu tak dibenarkan. Saat hendak bangkit untuk rakaat berikutnya, aku tanpa sengaja menginjak jemari kiri remaja di sampingku yang mungkin telat karena dibuai sujud yang nikmat. Entah kenapa diam-diam aku merasa gembira. Tapi sekali lagi, salat sedang berlangsung dan perasaan seperti itu tentu tak dibenarkan. Dan puncaknya, setelah delapan rakaat tuntas, aku tak mengajak salaman remaja itu. Aku merasa kehadirannya di sampingku telah mencemari saluran kekhusyukanku.

Mengalaminya sekali lagi, terbitlah rasa maluku. Bahkan saat di dalam masjid pun aku masih lebih memikirkan diri sendiri. Aku kecewa, marah, tak terima. Mestinya aku tak membaca tulisan aku-ku yang lain ini. Kurampas pulpen dari tangannya dan mencoreti baris-baris itu. Namun belum habis tulisannya kucoreti, ia merebut pulpenku.

“Buat apa?” katanya. “Aku dan kau sama-sama tahu, kita ada di saf itu. Kita mengalaminya.”

“Ini tak pantas disebut tulisan. Sama sepelenya yang tadi,” kataku mengelak.

“Itu kejujuran! Cermin yang perlu kita lihat di lain hari. Hal seperti itulah yang layak ditulis.”

“Bagiku tidak. Aku bisa menulis sesuatu yang lebih baik.”

Kusuruh ia diam dan kembali saja ke diriku. Tapi ia berontak dan, jauh di dalam sana, kudengar ia menubrukkan diri ke sana kemari, menusuk-nusukkan pulpen—yang telanjur dibawanya—ke dinding imajiner yang kubangun. Dan, apalah dayaku kemudian ketika ia berhasil tembus dan malah kini sukses membelah dirinya menjadi banyak: aku-ku yang kedua, aku-ku yang ketiga, aku-ku yang keempat ... dan sebelum yang kesepuluh, aku masuk ke dalam diriku dan menutup celah tempat mereka lolos.

Bajingan. Saat aku ke luar, aku telah berhadapan dengan kesembilan aku-ku, berdiri mengelilingi kertas dan sama-sama memegang pulpen yang ikut terbagi sesuai jumlah mereka. Aku nyaris memilih pingsan dengan sukarela karena tak mungkin menghalau mereka sekaligus.

“Baiklah. Siapa duluan?” kata salah satu aku-ku.

“Aku,” kata aku-ku yang lain.

“Jangan! Kau bisa menulis sembarangan seperti tadi,” kata aku-ku yang kedua. Ia sepertinya berdiri di pihakku.

“Begini saja!” kataku. “Yang berdiri di pihakku berkumpul di kanan, dan yang berdiri di pihaknya berkumpul di kiri!” Aku menunjuk aku-ku yang lain.

Tak ada yang bergerak. Semua berdiri di tempat semula. Kuulangi sekali lagi, tapi tetap tak ada yang bergerak. Kepala batu apung! Baru kusadari tak ada yang berdiri di pihakku maupun di pihak aku-ku yang lain. Kami berdiri di pihak masing-masing. Sepuluh aku, sepuluh sudut pandang.

Aku meremas pikiran dan harus memutuskan.

“Sepuluh sudut pandang ada di sini,” kataku kemudian. “Kalian tuliskan saja di mana kalian berada saat kita, aku yang sebenarnya, ada di masjid itu!”

Serentak semua bergerak, menulis dengan semangat bergolak. Dan belakangan kusadari tak ada di antara mereka yang sungguh-sungguh berada di masjid itu. Semuanya di luar: di rumah, di sawah, di kampus, di tempat kerja, di tempat futsal, di mana saja, betul-betul semaunya. Bahkan salah satunya—aku-ku yang kedelapan—mengaku telah pergi ke masa depan. Sungguh ampun, betapa sulit untuk bersungguh-sungguh mendengarkan.

Aku-ku yang kedelapan menulis: Aku mengakhiri kunjungan yang histeris itu saat menampak gerakan di sekitarku orang-orang berdiri untuk mendirikan salat teraweh malam ke-14 Ramadan tahun ini, 2023, di sebuah masjid yang lebih jauh dari rumahku, lebih jauh dari diriku pada tahun 2014 itu. []

Kaimana, 2023

Muliadi G.F. lahir dan besar di Barru, Sulawesi Selatan. Buku tunggalnya Cerita dari Negeri Siput (2017) dan Al-Fatihah untuk Pohon-Pohon (2018).