Tenang di Antara Gempuran Fomo
Kategori : Esai
Penulis : Andi Novita Sari Ramadhani
Editor : Ilo.I.D
Hidup di era digital, di mana nyaris seluruh aktivitas kehidupan kita dilakukan dengan bantuan teknologi, yang menuntut sesuatu dilakukan serba cepat dan serba praktis, membuat batin kita rasanya sulit untuk tenang. Tuntutan pekerjaan, pengaruh media sosial, dan ekspektasi yang tidak terpenuhi seringkali menjadi kecemasan dan akhirnya berujung pada stres.
Salah seorang teman saya mengaku bahwa media sosial mulai mendominasi kehidupan sehari-harinya. Dia menceritakan bahwa setiap kali membuka platform media sosial, teman saya merasa dunia tidak adil baginya. Ia berharap kehidupannya sama seperti orang lain yang tampak lebih ideal dan bahagia, berkesempatan berlibur di luar negeri, memiliki barang-barang mewah, dan menduduki jabatan tinggi, yang semuanya terunggah dalam foto-foto media sosial. Hal ini acapkali membuatnya membandingkan diri sendiri dengan kehidupan orang lain. Sehingga ia merasa kurang beruntung karena belum mencapai apa-apa, walau bagaimanapun ia telah berusaha dan merasa bekerja keras.
Kondisi yang dialami oleh teman saya ini dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out). FOMO adalah perasaan cemas atau takut tertinggal yang muncul ketika seseorang merasa bahwa orang lain memiliki kehidupan yang lebih baik atau lebih memuaskan daripada dirinya. Perasaan ini seringkali diperburuk oleh paparan media sosial secara terus-menerus, di mana hanya aspek-aspek paling ideal dari kehidupan orang lain saja yang ditampilkan, membuat seseorang merasa tertinggal atau tidak cukup berhasil dalam hidup.
Media sosial dan segala keindahannya dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memperlihatkan kesuksesan dan kebahagiaan. Namun di sisi lain, ia juga dapat menciptakan tekanan sosial yang luar biasa. Seseorang yang terus menerus terpapar dengan citra kesuksesan dari sosial media tersebut, peluang ia dihinggapi kecemasan, putus asa, dan ketidakpuasan terhadap diri sangat besar. Hal ini seringkali meluas ke aspek lain dalam hidup, misalnya kehidupan keluarga, pekerjaan, dan lingkungan.
Banyak orang yang merasa gagal hanya karena hidup mereka tidak semenarik yang terlihat di layar ponsel. Alih-alih membandingkan diri sendiri dengan orang lain, kita perlu menemukan kebahagiaan yang autentik, kebahagiaan yang berasal dari dalam diri, dan tidak bergantung pada pengakuan atau validasi eksternal. Terdapat pendekatan yang dapat membantu kita mengatasi perasaan kurang beruntung dan perasaan cemas yang muncul akibat tekanan yang ditimbulkan. Dalam hal ini, Rolf Dobelli dalam bukunya yang berjudul The Art of the Good Life, menekankan pentingnya “detached mindset”, yaitu sikap untuk mengabaikan hal-hal yang tidak begitu penting dalam hidup, dan fokus kepada energi dan sesuatu yang memberikan kedamaian dan kebahagiaan.
Dobelli mengajarkan bahwa dalam menjalani kehidupan yang baik bukanlah tentang memiliki segalanya, tetapi kebijaksanaan kita dalam memilih apa yang benar-benar berarti bagi kita. Dalam kehidupan modern yang penuh dengan tekanan sosial, seringkali kita merasa terjebak oleh hal-hal yang sebetulnya tidak begitu penting seperti mendengarkan penilaian orang lain dan terperangkap dalam perasaan ketidak cukupan yang seringkali merusak keseimbangan batin. Dengan menerapkan prinsip ini, kita dapat menjadi lebih selektif dalam menyerap informasi atau opini yang tidak memberikan nilai tambah bagi kehidupan kita. Ini bukan berarti kita harus sepenuhnya menjauhi media sosial, melainkan lebih bijak dalam merespons dan menyaring informasi agar kita bisa tetap fokus pada hal yang benar-benar memberi kebahagiaan. Ini merupakan tantangan untuk kita menjadi seseorang yang bijak dalam mengambil sikap agar dapat menjaga keseimbangan batin.
Film Jepang yang berjudul Perfect Days (2023) memberikan contoh yang indah bagaimana prinsip ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh utamanya, Hirayama, adalah seorang pria yang menjalani kehidupan sederhana sebagai pembersih toilet di Tokyo. Dari luar, hidupnya mungkin terlihat biasa saja, bahkan mungkin membosankan. Tetapi Hirayama menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil seperti mendengarkan musik favoritnya, membaca buku di waktu senggang dan merawat tanaman di apartemennya yang mungil. Meskipun pekerjaannya tidak prestisius, Hirayama tidak merasa kurang atau tertinggal. Sebaliknya, dia menikmati momen dalam rutinitasnya yang sederhana.
Kisah Hirayama yang menemukan kedamaian dalam kesederhanaan mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tidak harus selalu ditemukan melalui pencapaian besar atau kehidupan yang penuh dengan hal-hal yang luar biasa. Kebahagiaan bisa datang dari penerimaan diri sendiri dan dari menghargai hal-hal kecil dalam hidup. Hal ini dapat membantu kita mengalihkan perhatian dari kecemasan yang seringkali membebani kita. Dalam dunia yang seringkali menuntut kita untuk terus membandingkan diri dengan orang lain, penting untuk menyadari bahwa kebahagiaan sejati bisa kita ciptakan sendiri, melalui cara kita memaknai kehidupan kita.
Mark Manson dalam bukunya yang berjudul Seni Bersikap Bodo Amat menyampaikan pesan serupa. Ia menyarankan agar kita berhenti mengejar kesempurnaan yang didefinisikan oleh orang lain, dan sebaliknya, fokus pada apa yang benar-benar membawa kebahagiaan bagi kita. Dengan menerima ketidaksempurnaan hidup dan menghargai apa yang kita miliki saat ini, kita bisa mengurangi stres yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang berada di luar kendali kita. Misalnya, dalam lingkungan kerja yang kompetitif, kita mungkin merasa tertekan oleh standar yang tinggi atau kritik yang tidak konstruktif. Dengan menerapkan prinsip bodo amat dari buku ini, kita bisa memilih untuk tidak terbebani oleh pendapat negatif atau tuntutan yang tidak realistis. Selain itu, sikap bodo amat juga dapat menumbuhkan sikap kepercayaan diri, menghasilkan suasana kerja yang lebih harmonis, dan menjadi tameng dalam menjaga kesehatan mental.
Dengan menerapkan prinsip bersikap bodo amat, kita belajar dengan legowo menerima ketidaksempurnaan. Kita mesti menyadari bahwa bahwa tidak semua hal dapat kita kendalikan atau capai dan itu adalah bagian dari hidup. Sikap ini memungkinkan kita untuk lebih menikmati perjalanan hidup dan tanpa terbebani oleh tekanan internal maupun eksternal yang sering kali menghantui. Kebahagiaan yang sejati bukanlah tentang mencapai kesempurnaan yang diakui oleh dunia, melainkan tentang menemukan kedamaian batin dalam diri kita sendiri. Dengan fokus pada apa yang benar-benar penting dan melepaskan beban dari hal-hal yang tidak perlu, kita bisa menciptakan kehidupan yang lebih seimbang, harmonis dan bermakna. Pada akhirnya, kebahagiaan adalah hasil dari penerimaan diri dan penghargaan terhadap hal-hal sederhana yang seringkali terabaikan. []
*
Andi Novita Sari Ramadhani. Lahir di Kota Parepare tahun 2000. Ia telah menyelesaikan studi jenjang S1 di IAIN Parepare, Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris. Penulis cukup aktif di media sosial dengan username Instagram: @andinovitasr_