Pusaka Titipan Seorang Pustakawan
Kategori : Resensi Buku
Penulis : Azwar Radhif
Editor : Ilham Mustamin
Barangkali ada banyak alasan bagi kita untuk berkunjung ke perpustakaan. Ada yang memang memiliki minat dengan buku bacaan yang disediakan, ada yang sekadar nongkrong atau juga mencari tempat yang pas untuk mengerjakan tugas, ditunjang dengan buku-buku ilmiah yang sebagian besar menghiasi rak buku di perpustakaan. Terlepas dari itu, kehadiran perpustakaan sepertinya hanya menjadi tempat simpan-pinjam buku. Tak heran, di perpustakaan daerah, ukuran keberhasilan salah satunya diukur dari berapa banyak pengunjung yang datang ke sana.
Padahal menelisik lebih jauh ke tahun-tahun sebelumnya, perpustakaan memiliki peranan yang besar di masyarakat. Hery dalam bukunya Pusaka Pustaka (2022), menjelaskan bagaimana peradaban Dinasti Abbasiyah berkembang—yang ia sebut dengan masa keemasan Islam—tak lepas dari fungsi perpustakaan sebagai ruang publik yang menghidupi tradisi baca, tulis dan diskusi. Kehadiran perpustakaan berperan penting bagi kehidupan masyarakat saat itu, termasuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan aspek intelektual, spiritual dan emosional.
Perpustakaan di ibu kota Dinasti Abbasiyah itu bernama Bait al-Hikmah. Perpustakaan ini termasuk salah satu perpustakaan dengan koleksi buku terbesar pada masa itu. Selain sebagai rumah dari buku-buku, Bait al-Hikmah juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya gerakan kajian, kepenulisan dan kesenian. Hal ini yang mendorong berkembangnya tradisi diskusi majelis, penyalinan, pendiktean dan penerjemahan karya-karya bangsa lain yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Salah satu yang mempengaruhi berkembangnya perpustakaan Bait al-Hikmah menurut Hery tak lepas dari ketertarikan raja pada ilmu pengetahuan. Raja memberikan apresiasi yang besar kepada penulis dan penerjemah. Terlepas dari kepentingan politis Sang Raja, Abbasiyah tumbuh menjadi salah satu peradaban yang diperhitungkan. Poin besar yang bisa dipetik: peradaban yang besar adalah peradaban yang menghargai buku dan pemikir intelektualnya. Namun, ada beberapa poin dari tulisan Hery yang terkesan mengglorifikasi Dinasti Abbasiyah, tanpa sedikit pun melihat sisi lain yang bisa jadi merupakan sejarah kelam kerajaan teosentris ini.
Faraq Fouda dalam bukunya yang kontroversial berjudul Kebenaran yang Hilang (2007) menceritakan pandangan berbeda. Menurutnya, selain dikenal dengan kemewahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, Abbasiyah juga dikenal dengan peristiwa kelam yang menyangkut persekusi para intelektual dan ulama. Para pemikir yang berseberangan dengan raja akan dimasukkan ke dalam penjara, bahkan beberapa di antaranya diberi hukuman fisik. Kisah para empat imam Mazhab yang pernah mengalami deru penjara akibat bertentangan dengan raja, misalnya. Begitu juga dengan perkembangan sastra di masa itu. Syair-syair sastra yang berkembang sebagian besarnya hanya berisi pujian-pujian kepada dinasti Abbasiyah. Buku ini bisa dijadikan pembanding untuk melihat sejarah heroisme yang mengagung-agungkan Kerajaan Islam terdahulu.
Setelah jauh-jauh menceritakan gerakan kepustakaan Kerajaan Abbasiyah, Hery kemudian membahas sekelumit permasalahan yang dialami perpustakaan daerah. Contohnya, perpustakaan yang nampaknya begitu sibuk mempercantik tampilan gedung, tapi agaknya minim dalam gerakan akar rumput pencerdasan publik. Kasarnya, perpustakaan tak ubahnya seperti toko kelontongan yang hanya sibuk menunggu datangnya pembeli. Hery menaruh harapan akan hadirnya perpustakaan yang tak hanya sebagai ruang baca, tapi juga aktif membuat gerakan tulis, diskusi dan kreasi.
Selain isu perpustakaan, ada beberapa esai yang mengangkat topik intoleransi dan ujaran kebencian. Hery mencoba menggambarkan bagaimana media sosial kita menjadi sarang dari informasi hoax dan narasi sentimen antaragama. Persoalan mendasarnya adalah masih lemahnya pengetahuan literasi media, sehingga isu sentimen agama begitu mudah digoreng. Massifnya penyebaran informasi di media sosial membuat banyaknya konten kebencian berseliweran. Untuk itu, Hery menawarkan alternatif dengan mengaktifkan ruang-ruang intelektual seperti perpustakaan dan masjid untuk mensosialisasikan pengetahuan melawan hoax dan hate speech.
Di buku ini, Hery juga menekankan pentingnya peran santri sebagai garda terdepan melawan ujaran kebencian. Santri dianggap memiliki pengetahuan yang mumpuni sebab telah melalui didikan islami khas pesantren yang diberikan oleh kiainya. Modal pengetahuan tak cukup jika tak diberangi dengan gerakan. Mirip seperti konsep Rausyan Fikr yang digagas pemikir revolusi Islam Iran, Ali Syariati. Menurutnya, dalam sebuah revolusi, membutuhkan peran ‘intelektual yang tercerahkan’ untuk melawan narasi penguasa yang menindas. Untuk konteks ini, santri sebagai Rausyan Fikr berperan membuat konten yang lebih adem dan moderat serta membendung hate speech yang mengancam kerukunan umat beragama.
Indonesia punya sejarah yang panjang dengan masalah toleransi. Hingga kini, isu-isu intoleran kian bermunculan, di tengah massifnya wacana pluralisme. Kita dibuat begitu jengkel dengan banyaknya berita pelarangan pendirian rumah ibadah hingga pembredelan aktivitas ibadah kelompok minoritas. Tak hanya itu, beberapa kasus justru berujung pada perusiran hingga bentrokan yang mengakibatkan kerusakan parah bagi korban. Kita tentu masih ingat kasus kekerasan yang terjadi pada jamaah Syiah Sampang, Ahmadiyah, dan baru-baru ini pengeboman gereja di Makassar. Semua bermula dari tersebarnya ujaran kebencian, entah secara langsung maupun media digital, yang kemudian diamini banyak orang hingga berujung pada tindakan kekerasan.
Membaca buku ini membuat kita merenungi peran perpustakaan yang ternyata begitu besar. Barangkali, sebelum membaca buku ini, kamu berpikiran seperti Dedi Corbuzier yang terkaget-kaget setelah mengetahui ternyata ada jurusan Ilmu Perpustakaan di Universitas. Bagi Hery, ini memperlihatkan bahwa perpustakaan hanya dianggap tempat simpan pinjam buku yang kira-kira tak membutuhkan tenaga ahli. Salah satu qoutes yang menarik bagi saya dari seorang pustakawan senior ini adalah ‘perpustakaan adalah markas besar dalam menghadapi perang kebodohan dan ketidaktahuan’. []
Tulisan ini terbit pertama kali di Harian Fajar, Minggu 7 Agustus 2022.
***
Azwar Radhif, pengasuh toko buku Interaksi. Ia berdomisili di Kota Parepare.