Perpustakaan Daerah: Bangunan Modern dengan Sistem Pelayanan yang Kuno
Kategori : Esai
Penulis : Suhartina, S. Pd., M. Pd.
Editor : Ilo.I.D
Kartu identitas adalah bagian fundamental dari setiap warga negara. Dalam konteks modern, Kartu Tanda Penduduk (KTP) bukan hanya selembar plastik yang berisi data pribadi, tetapi juga simbol legitimasi yang membuka akses ke berbagai hak dan fasilitas yang disediakan negara. Salah satu hak yang sering diabaikan adalah akses terhadap buku. Tanpa KTP, akses ke perpustakaan menjadi terbatas dan seseorang kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan bahan pustaka.
Di Indonesia, banyak perpustakaan mensyaratkan KTP untuk meminjam buku, misalnya Perpustakaan Daerah Kota Parepare. Perpustakaan tersebut menjadikan KTP sebagai jaminan untuk memastikan agar buku dikembalikan. Meskipun ada alasan logis di balik kebijakan ini, yaitu untuk mencegah kehilangan buku, aturan ini menjadi penghalang bagi banyak pemustaka. Seorang pemustaka buku menuturkan bahwa banyak orang lain merasa keberatan dengan kebijakan ini karena dianggap terlalu memberatkan dan tidak inklusif. Kebijakan yang mensyaratkan KTP sebagai jaminan ini tidak hanya memicu kekhawatiran terkait risiko keamanan data pribadi, tetapi juga menambah kerumitan dalam proses pemustakaan buku.
Kebijakan ini menimbulkan berbagai masalah, baik dari segi aksesibilitas maupun keamanan data pribadi. Dalam konteks ini, penting untuk memahami perbedaan antara "identitas" dan "kartu identitas." Identitas mencakup karakteristik yang menggambarkan dan membedakan seseorang, seperti nama dan tanggal lahir. Sementara itu, kartu identitas adalah dokumen fisik yang memuat informasi tersebut sebagai bukti sah dalam berbagai keperluan administratif, termasuk pemustakaan buku.
Perpustakaan mungkin perlu mempertimbangkan untuk menerima berbagai jenis kartu identitas selain KTP, seperti KK, Kartu Pelajar, atau surat keterangan guna memastikan akses yang lebih luas dan inklusif bagi semua anggota masyarakat. Kehilangan akses ke perpustakaan membawa dampak negatif yang signifikan. Dari segi ekonomi, individu yang tidak bisa meminjam buku harus membeli buku sendiri, yang tentu membutuhkan biaya lebih. Hal ini menjadi beban tambahan terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan finansial. Perpustakaan yang seharusnya menjadi sumber daya yang dapat diakses oleh semua kalangan tanpa biaya besar justru menjadi eksklusif bagi mereka yang memiliki KTP. Akibatnya, terjadi kesenjangan dalam akses terhadap ilmu pengetahuan yang seharusnya tersedia untuk semua orang tanpa diskriminasi.
Dari segi keamanan, penggunaan KTP sebagai jaminan menimbulkan risiko terhadap data pribadi. Jika tidak dikelola dengan baik, informasi pribadi yang tercantum dalam KTP bisa disalahgunakan, memicu masalah seperti pencurian identitas dan penipuan. Selain itu, kehilangan KTP saat meminjam buku juga menambah beban administratif bagi individu yang harus mengurus pembuatan KTP baru. Di era digital ini, keamanan data pribadi menjadi semakin penting karena informasi dapat dengan mudah disalahgunakan jika jatuh ke tangan yang salah.
Sebagai warga yang merdeka, akses terhadap ilmu pengetahuan adalah hak yang harus dijamin tanpa hambatan. Kemerdekaan sejati bukan hanya tentang lepas dari penjajahan, tetapi juga tentang kebebasan untuk memperoleh pendidikan dan informasi secara luas. Peraturan perpustakaan yang mensyaratkan KTP sebagai syarat peminjaman buku perlu dikaji ulang. Mengandalkan KTP sebagai jaminan pengembalian buku bukanlah solusi terbaik; perpustakaan seharusnya mencari cara lain yang lebih inklusif dan tidak diskriminatif.
Momen peringatan Hari Literasi Nasional dan Hari Literasi Internasional yang jatuh pada tanggal 8 September setiap tahun menjadi waktu yang tepat untuk merefleksikan pentingnya akses yang lebih inklusif terhadap sumber daya literasi. Literasi adalah hak dasar yang harus dijamin untuk semua orang, tanpa terkecuali. Dalam konteks ini, perpustakaan sebagai pusat literasi harus memastikan bahwa setiap orang, terlepas dari status identitas mereka, dapat menikmati hak ini. Dengan kebijakan yang lebih inklusif, perpustakaan dapat menjadi garda terdepan dalam memajukan literasi di Indonesia.
Meminjam buku seharusnya tak perlu pakai KTP. Di Perpustakaan Daerah Parepare, kita sudah bisa mengisi daftar pengunjung dengan barcode—canggih seperti di bandara, tapi untuk meminjam buku, masih harus pakai KTP. Rasanya, kita seperti menyia-nyiakan produk kemajuan itu. Seolah berada di gedung bertingkat dengan fasilitas lift, tetapi kita hanya boleh mengakses tangga untuk menuju ke lantai atas .
Di zaman yang serba digital ini, kenapa perpustakaan belum juga beranjak dari cara-cara lama yang sudah tak relevan? Padahal teknologi sudah ada untuk menjamin keamanan dan kenyamanan tanpa perlu mengorbankan privasi kita. Lihat saja Perpusnas, mereka sudah memudahkan akses dengan sistem keanggotaan yang simpel dan inklusif, tanpa ribet harus menunjukkan KTP. Cukup daftar online, dan akses koleksi digitalnya terbuka lebar dari mana saja.
Perpustakaan sebagai pusat literasi, seharusnya jadi pionir dalam mengadopsi teknologi yang memudahkan, bukan malah bikin repot. Sistem keanggotaan digital, aplikasi pemustakaan, atau verifikasi lewat gawai seharusnya sudah jadi standar, bukan lagi KTP yang rawan disalahgunakan. Meminjam buku seharusnya jadi pengalaman yang mudah dan aman, tanpa khawatir privasi terancam. Saatnya perpustakaan berinovasi, tinggalkan cara-cara kuno, dan bergerak menuju masa depan yang lebih inklusif dan ramah teknologi. Literasi bukan hanya soal membaca, tapi juga soal merangkul kemajuan dan perubahan. Bukankah begitu?
***
Suhartina, S.Pd., M.Pd. dilahirkan di Benjala Kabupaten Bulukumba, pada tahun 1991. Selain tercatat sebagai dosen Bahasa Indonesia di Fakultas Tarbiyah IAIN Parepare, penulis adalah Ketua FLP Kota Parepare periode 2023-2025. Email: suhartina@iainpare.ac.id