Pergi Bertanya Pulang Berkarya
Kategori : Resensi
Penulis : Azwar Radhif
Editor : Ilham Mustamin
Membahas Kota Parepare dalam bentuk tulisan, rasanya akan sangat sulit bagi kita untuk menemukan buku bacaan yang membahas seputar kota ini. Apalagi selama beberapa tahun terakhir, hanya ada beberapa buku yang membicarakan Parepare yang bisa ditemukan di perpustakaan ataupun toko buku, salah satunya buku Siasat Menikmati Kesemenjanaan karya Ilham Mustamin.
Sebagai sebuah keinsyafan akan perlunya bahan bacaan yang menceritakan tentang Kota Parepare, sekaligus untuk mengarsipkan gaya hidup masyarakat, baru-baru ini, Sampan Institute, penerbit yang sedang bertumbuh di Kota Parepare, menerbitkan buku berjudul Pergi Bertanya Pulang Bercerita. Buku ini merupakan kumpulan tulisan hasil catatan lapangan mahasiswa yang sedang kuliah-praktik di penerbit ini.
Membaca buku ini, pembaca akan dibawa mengimajinasikan Kota Parepare dengan kacamata yang membumi. Para penulis berupaya menceritakan bagaimana kota bekerja melalui aktivitas gaya hidup masyarakatnya yang selama ini barangkali luput diperhatikan. Jikalau kita mencoba menggambarkan Kota Parepare, hal yang terlintas di kepala kita secara umum adalah embel-embel kota cinta yang selalu ditunjukkan di tempat umum.
Cinta, dalam kacamata elite selalu dilekatkan pada segala hal yang memiliki keuntungan ekonomis. Padahal, cinta juga ada di akar rumput masyarakat kita, cinta ada di pasar, di rumah ibadah dan di bangunan-bangunan tua yang masih ada dan bertahan di tengah gempuran urbanisasi kota.
Ketiga tempat ini menjadi tempat terbentuknya budaya masyarakat kota. Pasar menjadi tempat pertemuannya banyak orang dari beragam daerah untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, rumah ibadah sebagai tempat memenuhi kebutuhan ruhani, dan bangunan tua untuk kebutuhan romantisme kita, melacak perubahan kota sekaligus mengabadikan kehidupan masyarakat dari generasi ke generasi.
Ada banyak hal yang menarik ditelusuri dari ketiga tempat di atas, terutama jika dikaitkan dengan Kota Parepare. Seperti pasar, satu hal yang nyaris selalu ada di seluruh pasar di Kota Parepare, sekaligus menjadi ikonik para pelancong adalah pakaian cakar. Cakar merupakan akronim dari cap karung, istilah untuk menyebut pakaian bekas yang dijual di lapak-lapak penjual dan dibawa menggunakan karung.
Pakaian cakar menjadi pembahasan pembuka di buku ini. Agaknya cakar begitu menarik untuk dibincangkan, apalagi untuk konteks Parepare yang sejak dulu memang terkenal dengan pakaian cakar-nya. Pasar Senggol menjadi tempat yang banyak dikunjungi para pencari cakar. Biasanya sejak sore hari, mulai banyak pengunjung yang berdatangan mengelilingi lorong-lorong sempit yang diapit pelapak cakar.
Di buku ini, penulis mencoba menggambarkan bagaimana sejarah cakar di kota ini, bagaimana proses masuknya, dan bagaimana mereka bertahan di tengah gempuran industri fast fashion yang semakin pesat dan mempengaruhi cara kita berpakaian. Cakar menjadi altenatif dari gaya berpakaian masyarakat kita yang kebanyakan mengikuti tren tertentu yang mudah berubah dan kebanyakan berujung di tempat pembuangan akhir. Menggunakan pakaian cakar berarti memanfaatkan kembali pakaian yang nyaris menjadi limbah fashion.
Hal yang menjadi pembeda antara pasar tradisional dengan pasar modern, selain model bangunan pasarnya, ialah pola Interaksi penjual dan pedagang. Penulis sedikit banyak mencoba menguraikan bagaimana proses komunikasi kedua elemen pasar itu tercipta dan berkembang melibatkan emosional. Seperti contohnya, kedekatan penulis dengan penjual cakar selepas bercerita, sehingga diberikan harga spesial oleh penjual. Hal itu menandakan adanya hubungan yang lebih dari transaksional, seperti yang umumnya terjadi di pasar-pasar modern.
Model riset lapangan sederhana seperti ini umumnya lebih mudah dalam mendapatkan informasi, sebab tak terlalu fomal dan komunikasi bersifat mencair dan mendalam. Salah satu kemampuan lebih yang dimiliki oleh peneliti adalah kemampuan berkamuflase, sehingga tak terlalu terbaca sebagai seorang peneliti, kebanyakan digunakan dalam teknik penelitian kualitatif-etnografi. Tak jarang peneliti memilih untuk menetap berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mendapatkan informasi tertentu terkait masyarakat di tempat tersebut.
Setelah menceritakan pasar pakaian bekas bekerja, bagian berikutnya di buku ini menceritakan bagaimana kedekatan antara musik dan agama di Parepare. Hampir setiap agama memiliki bunyi-bunyian dalam tiap ritualnya. Tak terkecuali penggunaan alat musik yang memiliki kekhasan sendiri dan tak jarang menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Seperti penggunaan alat musik piano, gitar dan drum dalam ritus agama Kristiani yang terbilang modern. Beberapa agama juga menggunakan alat musik yang sama dalam ritusnya, seperti alat musik pukul yang juga digunakan di beberapa ritus agama-agama seperti beduk dan gong. Musik dalam ibadah, sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, memiliki beberapa fungsi, seperti menambah sakralitas ritual dan menambah antusias jemaah yang sedang beribadah.
Penulis juga menceritakan sejarah berdirinya rumah-rumah ibadah tertua di Parepare, meski informasinya tak terlalu mendalam dan beberapa pemuka agama belum memberikan informasi, penulis setidaknya telah mengumpulkan data awal untuk selanjutnya menjadi rujukan penelitian berikutnya. Paling tidak, ada penelitian yang melihat agama dari sisi kreatifnya, satu hal yang perlu di applause.
Bagian berikutnya, sekaligus penutup, berisi kumpulan tulisan yang membahas cerita-cerita mistis di bangunan cagar budaya. Sisi menarik yang sangat jarang dibincangkan di ranah akademik, bagaimana mitologi bekerja di masyarakat kita. Cerita mistis disebarkan melalui lisan oleh orang-orang tua dan kerabat dekat. Seperti kisah pindahnya batu besar ‘makkiki’e” dari puncak bukit secara alami lantaran terbawa air laut, saat bumi masih terendam air. Kisah ini terawat dari generasi ke generasi, hingga generasi sekarang yang bertugas menjaga kelestarian cagar budaya.
Juga sakralitas makam yang ada di Parepare. Makam Datu La Cincing, misalnya, menjadi makam yang sedikit tertutup lantaran hanya bisa dimasuki orang-orang pilihan, beserta berbagai perlakuannya yang menjadikannya begitu sakral. Ada juga lapas lama, tempat ditahannya pejuang kemerdekaan. Bangunan ini memiliki aura mistis yang kuat bila dilihat dari bentuk bangunannya. Ini juga barangkali yang membuatnya bertahan hingga sekarang. Cerita horor, sebagaimana mitologi pada umumnya berperan dalam menjaga eksistensi sebuah tempat.
Ada puluhan bangunan cagar budaya di Parepare, sebagian di antaranya dalam kondisi yang tak terlalu terawat. Belum lagi ancaman perluasan kota yang mengancam kelestarian bangunan, seperti alih fungsi bangunan tua ke bangunan baru. Esai-esai di buku ini berperan dalam mengingatkan pentingnya menjaga kelestarian cagar budaya. Apalagi, bangunan-bangunan ini menjadi tempat kita berwisata waktu ke masa lalu. Kota Cinta hanya tinggal jargon tanpa nuansa tuanya.
Membaca buku ini membuat kita bertamasya ke sisi lain Kota Parepare yang jarang dibincangkan. Ada satu spirit yang dibawa para penulis buku ini, bahwa menulis dan mengarsipkan kehidupan masyarakat bisa dilakukan dengan sederhana. Bisa dengan berkunjung ke satu tempat, bercerita dengan masyarakat di sana, kemudian menuliskannya. Melalui cara seperti itu, kita telah menyimpan dan menyebarkan pengetahuan lokal masyarakat.[]
*
Identitas Buku
Judul: Pergi Bertanya Pulang Bercerita (Usaha Mengarsipkan Narasi tentang Kota Parepare)
Penulis: Lillis Kurnia, Adiya, Nurul Annisa, dkk.
Editor: Andi Musran
Terbit: November 2022
Jumlah Halaman: x + 92 hlmn.
ISBN: 978-623-96707-6-4
Penerbit: Sampan Institute
***
Azwar Radhif, pengasuh Toko Buku Interaksi. Berdomisili di Parepare. IG: @azwar.radhif.