Migrasi Masyarakat Enrekang ke Parepare
Kategori : Artikel
Penulis : Sunardi Purwanda, Andi Musran, Mursalim Muslimin, Andika, Eko Prasetyo
Editor : Ilham Mustamin
A. Pengantar
Dalam beberapa literatur sejarah, dampak migrasi sangat ditentukan oleh suatu kondisi geografis. Menurut Anindita S. Thayf, sebelum abad ke-16, tidak ada yang pernah berpikir bahwa para imigran Eropa akan menghadirkan sebuah negara adidaya, yang kemudian dikenal dengan sebutan Amerika Serikat. Sebelum kedatangan bangsa Spanyol, Portugis hingga Inggris, kawasan subur yang ada di pesisir Samudera Pasifik itu hanyalah sebentang tanah genting berpenghuni segelintir suku Indian beserta banyak pohon, semak, binatang liar dan emas (Jawa Pos, 19/05/2019). Pengaruh besar migrasi orang-orang Eropa ke Amerika lebih pada keingintahuan akan dunia baru. Alih-alih memeroleh pengetahuan, mereka malah menemukan emas yang melimpah. Emas menandai kejayaan Eropa (simak Ernst H. Gombrich, 2015). Dari kejayaan itu kita bisa tahu, bahwa migrasi bisa membawa berkah bagi suatu bangsa. Namun, tetap mesti dicatat baik-baik, tidak semua migrasi berakhir demikian.
Pemicu migrasi pada era modern bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Jika Eropa atau Barat pada umumnya, melakukan migrasi—dengan medium pelayaran—untuk mencari tempat-tempat (daratan) baru, dengan rasa keingintahuan yang tinggi, dan asa menemukan dunia baru, maka lain halnya dengan yang ada Timur. Pada umumnya di Timur, migrasi ditengarai oleh konflik dan kebutuhan ekonomi. Kasus ini bisa kita temukan di beberapa wilayah yang ada di Timur Tengah. Migrasi juga ditemukan di Benua Asia lainnya, seperti di Indonesia misalnya. Tentu kita masih ingat geliat dari program transmigrasi pada masa Orde Baru di bawah kendali Soeharto. Orang-orang dalam satu pulau yang memiliki jumlah penduduk yang lebih, didorong untuk pindah ke pulau yang masih memiliki banyak lahan yang kosong. Mereka diminta oleh pemerintah untuk melakukan pembukaan lahan, bercocok tanam, lalu mendiaminya. Khusus untuk di Parepare sendiri, peristiwa yang paling dekat bagi kami di sini, yakni migrasi masyarakat Enrekang ke Parepare yang pernah berlangsung pada tahun 1950-an.
B. Alasan Migrasi Masyarakat Enrekang ke Parepare
Sebuah teori menjelaskan bahwa perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain biasanya disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor penarik (pull factors) dan faktor pendorong (push factors). Faktor penarik adalah faktor yang ditimbulkan dari luar (eksternal). Masyarakat dalam suatu daerah tertarik oleh daya pikat daerah lain. Sebaliknya, faktor pendorong adalah faktor dari dalam (internal). Masyarakat dalam suatu daerah terdorong oleh sesuatu yang timbul dari sebuah permasalahan sosial dari dalam daerah mereka sendiri (Subagyo,1982:7-14). Contoh faktor penarik misalnya, di daerah A menyediakan akses pendidikan yang lebih baik, mengakibatkan orang-orang yang ada di daerah B tertarik untuk berpindah ke daerah A sebab menjanjikan untuk dijajal. Sedangkan untuk faktor pendorong bisa disebabkan karena konflik dalam suatu daerah sehingga mengharuskan masyarakatnya untuk pergi mencari tempat yang lebih aman.
Penelusuran kami menemukan hasil penelitian dari Muh. Said, alumnus program pascasarjana ilmu sejarah Universitas Negeri Makassar yang mengangkat penyebab perpindahan masyarakat Enrekang ke Parepare pada tahun 1950-1965. Dalam penelitiannya, disimpulkan ada tiga faktor kunci penyebab migrasi pada tahun tersebut. Faktor terdiri atas: alasan keamanan, ekonomi, dan sosial budaya. Hal yang unik dari penelitian ini adalah, alasan keamanan sebagai variabel bebas yang kemudian berimplikasi ke urusan ekonomi dan kehidupan sosial budaya masyarakat di Enrekang. Jadi alasan keamanan merupakan pemicu utama munculnya dua alasan setelahnya.
Alasan keamanan bisa ditelusuri pada rentang tahun 1950 hingga 1960-an. Jejak arsip dan sejarah memberikan petunjuk, bahwa di Enrekang pada tahun tersebut terjadi peristiwa konflik bersenjata antara Tentara Nasional Indonesia (TNI), Gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan Gerombolan Pappang (Mohammad NatsirSitonda, 2012:67-76). Ketiga kelompok ini memiliki kepentingan politis masing-masing. Faktor pendorong menjadi kunci keberlangsungan migrasi dari Enrekang ke Parepare. Lahirnya konflik antar kelompok di Enrekang, menjadikan masyarakat mencari tempat yang lebih aman. Masyarakat Enrekang merupakan korban dari kepentingan tiga kelompok tersebut. Kerugian yang dialami masyarakat cukup beragam. Mulai dari pembunuhan, perampasan dan pembakaran hasil baraba (perkebunan), pencurian ternak, pembakaran bola (rumah), dan kerugian akibat tidak leluasa menjual hasil pertanian di pasar.
Menurut Hasan Kuraga, kondisi keamanan di Enrekang pada masa 1950-an, sangatlah mencekam. Muh. Said yang sempat mewawancarai Kuraga pada tanggal 14 April 2010 menuturkan:
“Deen waktu injaa di uma sola nenekku, tiba-tiba deen rumbu katandengpakita jio di bali kampong, ternyata deen beberapa bola ditunu oleh gerombolan pole di Tator, biasa gana disanga Gerombolan Pappang, sa pemimpinna disangai Pappang. Yaku sole nenekku sule masiga dibola bukku mananni ia manan yato bisa dibawa inja di loko mimbuni saa pasti laratutoi di kampong mattunu bola solama boko alokkolo terna’ secara paksa, bahkan joo nasengan-segan bunoki yake mewaki (Pada suatu waktu saya dan nenek pergi ke kebun, tiba-tiba ada asap yang melambung tinggi di sebelah kampung, ternyata ada beberapa rumah dibakar oleh gerombolan Pappang—disebut demikian karena pemimpinnya bernama Pappang. Saya dan nenek cepat pulang ke rumah lalu membungkus semua barang yang bisa dibungkus kemudian mencari daerah persembunyian karena pasti akan datang juga ke kampung untuk membakar rumah dan mencuri binatang ternak secara paksa; bahkan membunuh jika kita melawan.”
Hal yang sama juga diutarakan oleh Baina, perempuan yang sempat selamat dari kejaran Gerombolan Pappang dan memilih migrasi ke Makassar sebelum akhirnya ke Parepare pada tahun1964. Menurut Baina (wawancara 2 Juni 2019):
“Jadi ini ceritanya orang dari Tator selalu ki naburu. Itu rumahnya orang tuaku, tiga kali dibakar itu, tiga kali dibikin. Sampai begitu tiga kali dibikin rumah dibakar lagi. Tidak bisa meki tinggal. Biar apa-apa ta tidak ada mi. Biar seandainya sendok sepotong ndak ada sudah terbakar semua.”
Hasil baraba yang bisa diselamatkan pun kadang sangat sulit untuk dijual ke kota, lantaran masyarakat kadang dicap oleh TNI sebagai mata-mata gerombolan. Hal ini bisa ditelusuri dari sebuah arsip Provinsi Sulawesi Selatan 1946-1960 (Reg. No. 518), di mana Palisuri menyampaikan kepada Presiden Soekarno:
“Apabila rakyat tani mendekat dan memberi bantuan kepada TNI, dan lalu ditangkap oleh gerombolan DI/TII, maka mereka akan disembelih. Begitu pun sebaliknya, ketahuan bahwa rakyat tani memberi bantuan kepada anak buah Kahar (Pimpinan DI/TII-ed.), apabila tertangkap, akan disiksa dengan bermacam siksaan.”
Keadaan ini bagaikan “buah simalakama”. Masyarakat Enrekang mesti mencari cara untuk tetap bertahan hidup. Dan, tempat persembunyian yang aman untuk sementara waktu adalah gua dan hutan belantara. Menurut Muh. Said, masyarakat yang selamat akan tinggal dan bersembunyi selama dua-tiga hari dengan perbekalan secukupnya. Keadaan tersebut membuat warga mengalami kesulitan.
Sering kali terjadi kontak senjata antara gerombolan DI/TII dan TNI membuat masyarakat mencari tempat yang lebih aman. Dan, hal ini tentu menimbulkan akibat lain, seperti berkurangnya produksi pangan. Untuk tetap bertahan hidup, warga terpaksa mencari pangan alternatif, seperti keladi dan batang pisang muda. Pangan alternatif ini menjadi kuliner khas masyarakat Enrekang yang bertahan hingga saat ini. Keladi sebagai bahan dasar pangan tradisional bernama Ro’dok, dan yang berbahan dasar batang pisang muda dinamai Camme Burak.
Sangat sulit untuk bertani (bercocok tanam) dengan kondisi nyawa yang terancam. Pada akhirnya, masyarakat memilih bermigrasi ke tempat yang lebih aman. Sebagaimana diketahui, masyarakat Enrekang yang sebagian besar adalah petani—memanfaatkan perbukitan sebagai lahan pertanian (85% luas wilayah Enrekang terdiri atas perbukitan)—dirongrong oleh konflik dari dalam yang menyebabkan mereka mencari tempat yang lebih aman. Keadaan keamanan yang kacau balau dan berlangsung cukup lama, menjadikan Parepare sebagai tujuan para pengungsi.
Akibat kondisi keamanan yang kacau, dan berdampak terhadap perekonomian yang tidak stabil—ditandai dengan putusnya akses keamanan arus barang dari desa ke kota maupun sebaliknya—membuat sebagian masyarakat berpikir untuk tidak lagi bekerja di lahan pertanian. Hasil pertanian tidak bisa lagi dijual ke pasar yang ada di kota; menyebabkan kegiatan ekonomi menjadi lesu. Jaminan hidup tidak menentu. Aktivitas kerja menjadi terbatas. Menurut Syarifuddin setelah wawancaranya dengan Muh. Said, kekacauan yang timbul sangat berpengaruh pada bidang ekonomi. Berikut penuturannya (wawancara 25 April 2010):
“Aja buda ia to orang Enrekang Mellette jo kamponnga sa meleo naangajama-jamaan yato masiga minappaki doi, joo to tergantung jo assele pertanian. Aja budaki ia malisissurang yake ladibage mopi to tana siprintaramo ta ladirunte’da to bisa pakandei dadau anatta, padami joo nalamami tomatuanku melletei jokampong majama jo tau Cina isangai Bang Hu Liung (Banyak orang Enrekang yang meninggalkan kampung, karena ingin mendapatkan pekerjaan yang langsung bisa digaji (dapat uang); tidak bergantung lagi dengan hasil pertanian. Sayabanyak bersaudara sehingga kalau ingin membagi tanah milik orang tua maka kita hanya mendapatkan bagian yang sedikit dan tidak mungkin nantinya dapat memberi makan kepada anak, seperti itulah yang dialami orang tuaku meninggalkan kampung untuk bekerja pada orang Cina yang bernama Bang Hu Liung).”
Dari wawancara tersebut diketahui bahwa banyak orang Enrekang yang bekerja pada orang Cina di Parepare, dikarenakan orang Cina pada masa itu memiliki banyak modal, berduit. Muh. Said berpendapat: di mana ada orang Cina, biasanya di situ ada orang Enrekang yang bekerja. Komunitas Cina di Parepare pada umumnya berniaga. Jejak mereka bisa kita temukan di pusat perkotaan Parepare hari ini. Dan, di Parepare memang terbilang banyak jumlahnya, untuk mengetahui hal ini lebih jauh, simak hasil penelitian (skripsi tidak diterbitkan) Andi Karlina, alumnus Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin, yang mengangkat judul Komunitas Tionghoa di Parepare.
Tidak semua masyarakat Enrekang memilih bekerja sebagai buruh di Parepare. Di antara mereka masih ada yang tetap bekerja dengan membeli barang di kota lalu menjualnya kepasar-pasar. Sebagian masyarakat itu tergolong berani dan nekat. Mereka tetapmelakukan aktivitas perekonomian jual-beli, tentu dengan cara yang sangat hati-hati. Muh. Said yang sempat mewawancarai Hasan Kuraga, mengaku pernah melakukan aktivitas tersebut sebagaimana penuturannya berikut (wawancara 14April 2010):
“Denna sola Solana aku nekat ke Kalosi lamale nalli golla sola ce’lamalei njami mimbuni-mimbuni, yatonna e’dapa ku menyeberang lakuyakinkankikaleku ka e’da gerombolan manina sola sola sallakku menyeberang salu yato waigaja lassi kusampe jo kota nalli barang yato kuparaluang, aku polemonolaitolalan mangka kuolai untuk pole lako kampongku. Barang tomangka kualli ee’daku langsung bawai jo pasa tapi kuannai jo hutan to kusangai aman darigerombolan, masawa polepi kumale jo pasa kutiro calon to lamangalli dantransaksi kulakukan secara membisik-bisik sola membuni-buni, yatona demokesepakatan kuatorai wattunna piranni wakunna kusola mailoko hutan innalaibarangnga (Saya pernah dengan teman nekat ke Kalosi membeli gula dan garam secara sembunyi-sembunyi, ketika hendak menyeberang saya meyakinkan diri saya terlebih dahulu kalau tidak ada gerombolan di sekitar saya yang melihat, setelah merasa aman saya dan teman saya menyeberang sungai yang airnya sangat deras. Sampai di kota membeli gula dan garam, di kota juga harus hati-hati jangan sampai dianggap gerombolan oleh pasukan tentara kota. Ketika sudah menemukan barang yang saya cari, saya kemudian kembali melewati jalan yang sebelumnya saya lalui. Barang yang telah saya beli tidak langsung saya bawa ke pasar tapi saya simpan di hutan yang amandari gerombolan, besoknya saya ke pasar mencari pembeli dan melakukan transaksi secara sembunyi-sembunyi (bisik-bisik). Ketika sudah ada kesepakatan harga barulah diatur waktunya kapan bisa bersama ke hutan untuk mengambil barang itu.”
Akses ekonomi yang terhambat menjadikan warga desa sangat sulit untuk menjual hasil baraba mereka ke kota. Begitu pun sebaliknya, barang-barang (bukan bahan makanan) dari kota yang dijual ke desa dengan cara diselundupkan, harganya bakal naik berlipat (mahal). Bagi Muh.Said, untuk makan saja mereka kesulitan, apalagi membeli barang yang harganya terbilang mahal. Alasan keamanan sangat memengaruhi tingkat ekonomi masyarakat di Enrekang, terutama yang bekerja sebagai petani. Para petani tidak memiliki kesempatan untuk mengolah tanah pertaniannya secara aman; tanpa gangguan dari kelompok yang bertikai. Untuk panen jagung dan padi saja, kadang tidak bisa mereka nikmati. Gerombolan bisa datang kapan saja untuk membakar atau merampas secara paksa hasil panen masyarakat. Untuk tetap bertahan hidup, masyarakat Enrekang memiliki pilihan yang cukup terbatas: seperti memilih tetap tinggal diEnrekang dan menjual hasil panen ke kota; memilih untuk bermigrasi dan bekerja sebagai buruh di Parepare; dan/atau memindahkan kerja-kerja pertanian (membuka lahan baru di daerah migrasi) ke Parepare yang hasilnya kelak dijual ke pasar yang ada di Parepare.
C. Gelombang Migrasi Masyarakat Enrekang ke Parepare
Menurut Muh. Said, ada tiga kali gelombang besar migrasi masyarakat Enrekang ke Parepare yang pernah terjadi, yaitu pada tahun 1950-an, 1960-an, dan 1970-an. Ketiga gelombang ini masing-masing disebabkan oleh alasan keamanan, ekonomi, dan pendidikan. Khusus untuk tahun 1950-an, gelombang arus besar terjadi sebab ada alasan keamanan yang sangat kuat hingga mendorong masyarakat untuk bermigrasi. Muh. Said menerangkan, pada umumnya gelombang migrasi masyarakat Enrekang pada tahun 1950-an dilakukan dalam bentuk berkelompok. Mereka melakukan perjalanan dengan berjalan kaki dari kampung halaman mereka masing-masing menuju Parepare. Mereka melalui dua jalur, Sidenreng Rappang (Sidrap) dan Pinrang. Untuk menghindari penangkapan, mereka berjalan pada malam hari, sedang siangnya dipakai untuk beristirahat. Pada waktu itu belum banyak kendaraan oto (mobil), ditambah lagi persoalan uang untuk ongkos membayar jasa angkutan.
Pada masa 1950-an, kondisi keamanan di Parepare memang jauh lebih kondusif dibanding Enrekang. Kondisi perekonomian juga lebih stabil. Inilah yang membuat Parepare menjadi destinasi yang cukup menjanjikan bagi kehidupan masyarakat Enrekang di tanah migrasi. Di Parepare, hasil panen bisa dijual di pasar, dan bahkan bisa dikirim ke luar (Kalimantan). Hal ini dimungkinkan karena Parepare pada masa 1950-an sebelumnya telah memiliki pelabuhan.
Apabila hendak mengirim hasil tani ke luar Sulawesi, maka mereka mesti menunggu dan bermalam di Parepare sampai ada kapal yang mengangkut hasil panen mereka. Senggang waktu menunggu kapal pengangkut, biasanya digunakan oleh orang Enrekang untuk membuka lahan pertanian, terutama di daerah-daerah perbukitan yang masih ditumbuhi semak belukar. Sayuran yang mereka tanam disesuaikan dengan kondisi alam yang ada di Parepare. Jenis yang paling banyak ditanam adalah sayur-mayur, umbi-umbian dan jagung. Orang Enrekang yang menunggu kapal, biasanya memilih tinggal berada tidak jauh dari areal pelabuhan. Alasan memilih lokasi tersebut lebih kepada urusan efisiensi. Mengingat hasil tani yang dijual berjenis sayur-sayuran yang tidak bisa bertahan lama dan mudah membusuk, maka panen disesuaikan dengan jadwal kapal yang sandar di pelabuhan.
Sejauh penelusuran, koloni yang tidak jauh dari areal pelabuhan, berada di daerah Geddong’e dan Kilo 1 yang memiliki konfigurasi geografi perbukitan yang mirip dengan kondisi geografis di Enrekang. Salah satu alasan dipilihnya tempat-tempat demikian karena kecenderungan bertani orang Enrekang yang lebih menyukai tempat yang landai ketimbang tempat yang datar. Menurut Salama’ (wawancara 31 Mei 2019):
“Kebiasaan di kampung kalau bercocok tanam itu di tanah miring, tidak seperti di daerah Bugis pada umumnya, di tanah datar. Kenapa? Alasannya karena kalau hujan turun tanaman tidak akan tergenangi air yang menyebabkan tanaman tidak rusak.”
Selain itu, asumsi kami, memilih tempat perbukitan yang tidak jauh dari areal pelabuhan adalah alasan lain agar lebih mudah memerhatikan kapal yang akan bersandar ke pelabuhan. Jika kita berdiri di daerah perbukitan seputar Geddong’e, maka kita akan melihat lautan di sebelah barat beserta kapal yang berlayar dari dan ke pelabuhan Parepare. Hal yang perlu diketahui bahwa kapal yang sandar memiliki waktu jeda sebelum berlayar kembali ke lautan.
Salah satu alasan lain mengapa masyarakat Enrekang memilih membuka lahan di Parepare, dikarenakan wilayah Enrekang yang belum aman dari konflik. Orang-orang masih enggan untuk kembali ke Enrekang. Dipilihnya tempat perbukitan juga dikarenakan cocok dengan kondisi (geografis) asal. Menurut Muh. Said (wawancara 25 Mei 2019):
“Bagi masyarakat Enrekang, wilayah Parepare yang berkontur rendah dan perbukitan, merupakan karakteristik kondisi geografis yang pas untuk bercocok tanam. Orang Enrekang memilih wilayah perbukitan sebagai tempat bercocok tanam, selain karena di wilayah perbukitanlah mereka bisa menyesuaikan dengan kondisi asal mereka, juga karena di wilayah perbukitan masih sepi penduduk yang bermukim di sana. Sebagaimana diketahui pada waktu itu hunian padat penduduk berada di daerah rendah sehingga dirasa kurang pas untuk membuka lahan.”
Daerah perbukitan Parepare banyak dipenuhi oleh orang dari Enrekang. Hal ini bisa ditemukan hingga saat ini. Wilayah perbukitan yang ada di Parepare, semisal Jalan Lasiming, Kilo 1 sampai Kilo 5 Lapadde, Panyanya, Abubakar Lambogo, Geddong’e, dan di seputaran Rumah Sakit Umum Andi Makkasau, serta Kampung Duri di Kecamatan Soreang, menandakan aktivitas mereka sebagai masyarakat yang sudah berakulturasi dengan masyarakat setempat.
Di antara tempat-tempat tersebut, di mana kali pertama mereka bermukim (mendiami wilayah perbukitan) di Parepare? Dan, apakah pemilihan tempat itu semata-mata karena kondisi geografisnya sama dengan daerah asal? Atau adakah variabel lain, semisal adanya koloni yang terbangun sebelum migrasi besar pada tahun 1950-an? Temuan kami berikut ini akan menjelaskan lebih jauh perihal masalah ini, yang juga ada korelasi khusus dengan koloni satu ini: Geddong’e.
Setelah baraba ditinggalkan dan menuju Parepare, masyarakat Enrekang yang bermigrasi memilih tempat-tempat perbukitan. Kondisi geografis Parepare yang mendukung menjadikan masyarakat Enrekang memilih tinggal dan membuka lahan baraba yang baru. Salah satu tempat perbukitan itu adalah Geddong’e. Awal mula penamaan daerah Geddong’e tidak diketahui secara jelas. Masyarakat setempat pun tidak ada yang tahu secara jelas asal usul penamaan tempat tersebut. Kami hanya bisa menemukan gambaran bahwa penamaan Geddong’e merujuk pada gedung pabrik minyak kelapa dan gudang senjata yang ada di kawasan tersebut. Satu-satunya gedung yang masih berdiri kokoh hingga sampai saat ini. Gedung juga bisa berarti gedong (Betawi), yang dalam dialek Bugis disebut geddong. Dalam dialek Bugis untuk menandai suatu lokasi biasanya diakhiri penekanan “e”, seperti tasi’ (laut) menjadi tasi’e (lautan); bulu’ (gunung) menjadi bulu’e (pegunugan).
Awal mula masyarakat Enrekang bermukim (mendiami) wilayah perbukitan di Parepare, diperkirakan di seputaran Geddong’e (masuk wilayah Kecamatan Bacukiki Barat saat ini). Sebelum konflik pada tahun 1950-an, atau gelombang migrasi besar-besaran pertama, jauh sebelumnya sudah ada komunitas masyarakat Enrekang di Geddong’e. Diperkirakan awal-awal abad ke-20 telah ada orang Enrekang yang bermukim di Geddong’e. Hal ini diutarakan oleh Salam, Ketua RT 2 di Geddong’e. Salam pernah mendengar kisah dari bapaknya yang migrasi dari Enrekang ke Parepare. Berikut penuturannya (wawancara 2 Juni 2019):
“Pada tahun 1928 Bapak saya jalan kaki mulai kampung (Enrekang-ed.) melalui jalur Pinrang dan masuk ke sini (Geddong’e-ed.) tiga hari tiga malam. Umur orang tua saya dulu itu baru 10 tahun. Dia bersama Om-nya ke sini.”
Hal yang sama juga diutarakan oleh Salama’, yang lahir dan tumbuh besar di Geddong’e sebelum berpindah ke wilayah seputaran Rumah Sakit Andi Makkasau. Menurut Salama’ (wawancara 31 Mei 2019):
“Kakek saya sudah ada sejak Belanda masih berkuasa di Parepare. Ia menceritakan ke saya, ia berjalan dari kampung dengan dua orang kerabatnya menuju Parepare dengan berjalan kaki selama tiga hari. Kakek saya itu bekerja pada orang Belanda di Geddong’e. Orang Belanda itu dipanggilnya Tuan Tanah, sebab memiliki tanah sampai Lemoe (masuk Kecamatan Bacukiki-ed.). Di Lemoe kakek saya dikuburkan. Selain tanah, Belanda itu juga memiliki peternakan sapi, sekarang lahan peternakannya sudah jadi gedung BLK (Balai Latihan Kerja-ed.) dan SD 45 (Sekolah Dasar-ed.). Dulu para pekerja Tuan Tanah itu hampir seluruhnya berasal dari Enrekang. Yang mengurusi sapi sampai lahan kelapanya itu orang Enrekang. Dia punya anak bernama Nona yang menikah dengan orang blasteran Manado, Tuan Bateng namanya, Dia-lah yang mewarisi seluruh kekayaan Tuan Tanah.”
(Lokasi bekas pabrik pembuat minyak kelapa di Geddong'e, Bacukiki, Parepare.)
Dari pernyataan Salama’ ini, kami mecoba mencari tahu siapa ’Tuan Tanah’ yang banyak mempekerjakan orang Enrekang ini. Kami kemudian mengetahui kalau nama orang Belanda itu adalah Alexander. Nona yang disebut Salama’ juga akhirnya kami ketahui namanya. Orang-orang sekitar mengenalinya dengan sebutan Nona Meri. Kami menduga, mungkin Merry atau Marry.
Salah satu keluarga yang merupakan tangan kanan Tuan Bateng (suami Nona Meri) dahulu, bernama Medi (sudah meninggal)—yang berhasil kami temui adalah anak perempuannya memberikan kami selembar foto. Sebuah foto hitam-putih yang menampilkan wajah dari Tuan Bateng dan Nona Meri. Anak perempuan Medi menuturkan, nama bapaknya dimiripkan dengan nama Nona Meri: ’Meri-Medi’. Kami sempat bertanya, apa yang membuat orang Belanda itu percaya pada orang-orang Enrekang? Dia menjawab, “Bapak pernah bilang: kami (orang Enrekang-ed.) bisa dipercaya, dan kami orang-orang pekerja keras,” pungkasnya.
Kami juga menemui salah seorang pemuda, bernama Sawal, yang pernah bersekolah di SD 45 Parepare. Di halaman SD 45, Sawal menyaksikan sebuah kuburan Belanda dibongkar. Orang-orang sekitar Geddong’e menyebut itu kuburan Tuan Tanah. Sawal menuturkan (wawancara 31 Mei 2019):
“Mungkin masih kelas lima-ka, saya lihat itu pembongkaran kuburan. Itu kuburan Belanda atapnya dari beton dan cukup luas di tengah halaman sekolah. Pas dibongkar kelihatan-mi itu peti, di dalam ada gigi palsu, atau gigi-lah, terus juga ada sepatu, besar, dan barang-barang lainnya. Ada waktu itu keluarganya, atau kalau tidak salah mengaku keluarga, yang mau bongkar itu kuburan. Kupikir itu orang cari emas atau harta karun, mungkin. Ramai orang berkumpul waktu itu.”
Kuburan tersebut diperkirakan adalah tempat di mana jasad Tuan Tanah disemayamkan. Namun, kita tidak bisa lagi melihat sisa-sisa kuburan tersebut. Sekarang ini, lokasi pekuburan itu sudah rata dengan batako dan beralih fungsi menjadi tempat bermain (lapangan) siswa-siswi SD 45 Parepare. Di BLK pun, kami tidak lagi menemukan jejak-jejak peninggalan dari peternakan sapi Tuan Tanah, bahkan sekarang ini tanah di BLK sudah diambil alih oleh Negara.
Setelah Tuan Bateng tidak lagi berkuasa atas tanahnya, diperkirakan tanah itu jatuh kepada para pekerja yang berasal dari Enrekang, walaupun dikemudian hari tanah tersebut sempat dipersoalkan oleh Pemerintah Kota Parepare. Bahkan, kasus ini pernah berlangsung di Pengadilan Negeri Parepare. Belakangan, tanah-tanah yang dikuasai orang Enrekang membentang dari Geddong’e, sebagian Jenderal Sudirman, hingga seputaran Rumah Sakit Andi Makkasau. Jejak-jejak kepemilikan tanah oleh orang Enrekang masih bisa kita temui hingga hari ini. Bahkan, tanah yang ditempati Rumah Sakit Andi Makkasau, merupakan tanah yang pernah digarap oleh orang Enrekang.
Daftar Pustaka
Gombrich, Ernst H. 2015. Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda. Tangerang: Marjin Kiri dan Katalis.
Karlina, Andi. 2014. Komunitas Tionghoa di Parepare. Skripsi, Program Sarjana Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin.
Said, Muhammad. 2010. Migrasi Orang Enrekang ke Parepare 1950-1965; Suatu Kajian Sejarah Sosial. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar.
Sitonda, Mohammad Natsir. 2012. Integrasi Gerilya; DI/TII ke NKRI. Makassar: Yayasan Pendidikan Mohammad Natsir.
Subagyo. 1982. Urbanisasi. Jakarta: Biro Data Kependudukan BKKBN.
Thayf, Anindita S. Di Surga Para Imigran. Terbit di Koran Jawa Pos, 19/05/2019.