Merangkai Kata, Merebut Wacana: Cara Melawan Negara Yang Hendak Merebut Sejarah
Kategori : Esai
Penulis : Ahmad SM
Editor : Ilo.I.D

“Sejarah ditulis oleh pemenang”—demikian kutipan populer yang pernah didengungkan oleh mantan Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill. Di pemilihan presiden 2024 lalu, publik Indonesia melihat pemenangnya adalah Prabowo Subianto Djojohadikusumo, dan wakilnya Gibran Rakabuming Raka bin Joko Widodo alias Mulyono.
Sesaat setelah memenangkan pilpres lalu, Prabowo berkeinginan menulis ulang “sejarah resmi” Indonesia. Bak mahasiswa yang hendak ujian esok hari, penyusunan sejarah ini dikerjakan dengan sistem kebut semalam. Tidak sampai di situ, ini juga menyoal siapa yang menulis, untuk siapa dan dengan tujuan apa?
Penulisan Sejarah Resmi oleh Negara: Lagu Lama, Kaset Baru
Penulisan sejarah resmi oleh negara bukan hal baru, dan bukan pula tanpa risiko. Dalam banyak rezim otoriter, sejarah resmi digunakan sebagai alat untuk membenarkan kekuasaan, bukan untuk mengungkap kebenaran. Di Indonesia, kita diantar mengalami dejavu, kita pernah melihat ini dijalankan dengan sempurna oleh Orde Baru: buku-buku ajar dipenuhi narasi tunggal buatan Orba, film propaganda diputar berulang, dan pelajaran sejarah menjadi pelajaran loyalitas pada negara.
Kini, sejarah resmi kembali dirancang, dikomandoi oleh Fadli Zon—Menteri Kebudayaan yang juga loyalis keluarga Djojohadikusumo. Dia ikut mendirikan Partai Gerindra dan mendampingi Prabowo sejak awal. Di tangannya, proyek ini direncanakan melahirkan 10 jilid buku sejarah yang disusun oleh sejarawan dari berbagai universitas. Tapi dari bocoran konsep beredar, ada dua hal yang jadi catatan krusial: Pertama, isinya menunjukkan tendensi kuat: pelanggaran HAM nyaris dihapus, tragedi 1965 hanya disentuh selintas, gerakan mahasiswa 1998 ditiadakan, dan kekuasaan Orde Baru diputihkan dari segala kekejaman. Dan paling tidak masuk akal ialah, kementeriannya hendak menulis sejarah dengan tone positif, untuk apa? Untuk persatuan bangsa. Sebuah dalil yang ngawur!
Kedua, yang tak kalah parah, terdapat satu bab yang dikhususkan untuk memuji kesuksesan Mulyono, seolah menjadi lampiran yang mengukuhkan aliansi politik yang dibangun dari koalisi elektoral. Ini bukan sejarah yang mencerahkan, melainkan dokumen legitimasi kekuasaan. Sampai di sini skor sementara: Rakyat 0 – Pemerintah 2.
Proyek ugal-ugalan ini, dan memang ugal-ugalan, ekspres nan tertutup. Semakin membuatnya terang bahwa ini memang sekadar formalitas, dan hendak melanggengkan hegemoni tafsir tunggal atas sejarah. Pemerintah tidak bodoh-bodoh amat, sebab paham pentingnya mengendalikan sejarah dan mensortir ingatan warganya. Dan juga sadar benar mengantisipasi, menentukan dan mengendalikan masa depan.
Monopoli Politik Ingatan: Jalan Sunyi menuju Distorsi
Sejarah bukan sekadar kumpulan tanggal dan nama, melainkan ruang tafsir kolektif tentang siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita akan pergi. Ketika negara memaksakan satu versi sejarah sebagai versi “resmi”, maka versi lainnya—yang datang dari korban, minoritas, akademisi independen, atau masyarakat adat—akan dianggap menyimpang, bahkan bisa dianggap subversif.
Politik ingatan bukan semata kerja dokumentasi, tapi arena pertarungan jangka panjang. Politik ingatan adalah permainan jangka panjang. Kita sudah muak sekali, dengan praktik gila-gilaan Orde Baru, yang membangun infrastruktur untuk mengawetkan narasi dan warisannya. PKI dan dituduh PKI dihabisi—karikatur antagonis. Sedangkan karikatur protagonisnya, tentu saja militer. Lihat saja di jalan-jalan di seantero Indonesia, lebih banyak nama orang dengan pangkat militer yang menjadi nama jalan, bahkan kalah dengan sosok lokal di kawasan atau kota tersebut. Atau ingat kembali masa Sekolah Dasar, interior kelas umumnya dipenuhi oleh gambar muka pahlawan, dan coba ingat dan hitung, ada berapa muka orang dengan seragam militer terpampang di dinding?
Kita bahkan hafal pahlawan nasional yang lebih banyak dari kalangan militer daripada tokoh daerah kita masing-masing yang mungkin tak disebut pahlawan di kamus negara. Atau mungkin masih menanti agar diajukan ke negara untuk mendapat gelar pahlawan. Dan bagi pemberontak republik di masa Orde Baru, jangan berharap negara akan memperhitungkannya, sebab pernah melawan rezim otoriter Orde Baru, Soeharto merasa terancam dan langsung diberi cap pemberontak. Narasinya selalu buruk di mata negara, digambarkan bak monster di buku-buku ajar di sekolah-sekolah.
Alih-alih punya progres dalam berbangsa, penulisan sejarah resmi ala Prabowo adalah kemunduran perabadan. Upaya dia untuk menulis sejarah, justru mendistorsi sejarah itu sendiri. Betapapun gelapnya sejarah, ia harus tetap ditulis, sebab dari sanalah masa depan dirangkai agar memberitahu dimana letak kesalahan kebijakan masa lalu, dan masa depan lebih siap untuk mengantisipasinya.
Menulis Ulang Sejarah, Tren Otoritarianisme Global
Apa yang terjadi di Indonesia hari ini adalah bagian dari fenomena global. Otoritarianisme tak lagi hanya menindas tubuh dan suara, tapi juga ingin mengendalikan ingatan. Di Rusia, Vladimir Putin merekonstruksi sejarah Soviet demi membenarkan ekspansi militernya ke Ukraina dan menopang nostalgia kekaisaran. Ia menempatkan Stalin bukan sebagai algojo berdarah, tapi pemimpin besar yang mempersatukan bangsa.
Di India, Perdana Menteri Narendra Modi menulis ulang sejarah untuk menghapus jejak pluralisme India, dan menggantinya dengan glorifikasi Hinduisme radikal. Sejarah Mughal direduksi, sementara tokoh-tokoh Hindu dimuliakan, tak jarang dengan fakta yang diselewengkan. Di Turki, Recep Tayyip Erdoğan membentuk sejarah resmi Turki modern yang mengaburkan kekerasan atas minoritas Kurdi dan Armenia. Begitu pula di Tiongkok, Partai Komunis mengontrol narasi sejarah 1989 dan kampanye anti-kemiskinan sebagai tonggak nasionalisme—tak ada ruang untuk narasi korban atau diskusi publik yang kritis.
Semua ini menunjukkan: sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tapi tentang siapa yang mengendalikan masa depan. Di sinilah letak bahayanya. Ketika sejarah dikuasai negara, maka masa depan rakyat juga bisa dijajah oleh narasi yang palsu. Kita harus menulis sejarah tandingan, agar siap bertarung dengan penguasa yang memiliki semua modal. Pertarungan narasi adalah pertarungan jangka panjang. Ia tak dapat dimenangkan dengan kekuasaan semata, melainkan dengan ketekunan.
Kembali pada Winston Churchill, dia juga pernah mengatakan bahwa layang-layang terbang tidak mengikuti angin, namun justru dengan melawan angin. Dalam mega proyek penulisan sejarah resmi ini, tidak ada lagi kata selain “melawan”!
Melawan: Merangkai Kata, Merebut Wacana
Bagaimana melawannya? Di sini titik diskusi kritisnya. Sebab kekuasaan yang bringas ini beroperasi jejaringnya. Kita juga harus membangun hal serupa, melawan dengan tinta, dengan menulis, merebut wacana. Sebagaimana tulisan di rubrik Opini Majalah TEMPO edisi 26 Mei–1 Juni 2025, publik mesti menulis sejarah tandingan. Artinya, membuka kembali ingatan-ingatan yang dibungkam, menghidupkan kesaksian para korban, dan menyusun narasi yang lebih adil serta menyeluruh.
Sejarah yang adil harus mencatat semua luka: 1965, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, kekerasan di Aceh dan Timor Timur, penembakan misterius, tragedi dan pemerkosaan massal 1998, penghilangan paksa aktivis, hingga kekerasan dan pelanggaran HAM berat di Papua. Sejarah bukan untuk disucikan, melainkan untuk direnungkan.
Saat ini, kita tak bisa berharap banyak pada negara yang sedang sibuk merapikan wajahnya di depan cermin kekuasaan. Maka, tanggung jawab ini jatuh kepada masyarakat sipil, sejarawan independen, komunitas kebudayaan, pengarsip alternatif, jurnalis investigatif, pegiat literasi, bahkan seniman dan sineas. Harus serentak menolak narasi tunggal, membuka ruang kontra-wacana melalui seni, sastra, dan pendidikan alternatif.
Kerja kebudayaan dan kerja literasi tak lain dan tak bukan ialah melawan pendangkalan dan manipulasi ingatan yang direpresi secara sistematis oleh negara. Proyek penulisan sejarah oleh Prabowo bukan sekadar soal narasi masa lalu, ia adalah perebutan kendali atas masa depan, melalui kontrol atas ingatan. Karena itu, sejarah yang kita perjuangkan bukan yang resmi, tapi yang adil: berpihak pada korban, membuka ruang kebenaran, dan tidak tunduk pada kekuasaan yang ingin memanipulasinya. Lebih lanjut, menemani generasi muda agar tak tumbuh dalam ingatan yang dipalsukan dan tenggelam dalam amnesia sejarah. Melawan sejarah resmi bukan melawan fakta, tapi melawan manipulasi fakta. Dan pertarungan ini hanya bisa dimenangkan dengan ketekunan, bukan kemarahan sesaat.
Pada akhirnya, Milan Kundera, novelis berdarah Cekoslowakia seolah memberi kutukan: perjuangan melawan kuasa adalah perjuangan ingatan melawan lupa.
***
*) Ahmad SM, pemerhati budaya dan peneliti di Social Movement Institute (SMI).