Mengenang Bijah Shiwa
Kategori : Esai
Penulis : Ilham Mustamin
Editor : Muliadi G.F
Suatu hari di tahun 2006, ketika pertama kali ke Kota Parepare dan menyempatkan berkeliling di daerah pinggiran kota selama dua hari, melihat-lihat daerah pesisir pantai dan daerah bebukitan yang dimiliki kota ini, Bijah Shiwa menyatakan kalau suatu saat ingin tinggal di sini, bahkan ingin mengakhiri langkahnya di tempat ini pula. "Jalan-jalannya bersih. Ini kota yang enak, "katanya. Enam tahun kemudian, ia benar-benar memilih tinggal di Parepare.
Bijah Shiwa, seorang seniman yang menggandrungi seni rupa. Ia lahir di Jakarta, 4 Juni 1952, dan diberi nama oleh orang tuanya: Asril. Namun, ia lebih senang memperkenalkan dirinya kepada orang-orang dengan nama Shiwa. Ketika anak keduanya, Sinta, membuat undangan pernikahan dan mencantumkan Asril sebagai nama yang turut mengundang, ia marah. Ia meminta anaknya membuat undangan yang baru dengan nama Shiwa. "Tidak ada yang mengenal Asril di sini. Teman-teman hanya mengenal Shiwa," katanya.
Saya mengenalnya sejak pertengahan tahun 2015. Rambutnya panjang bergelombang sampai ke pundak, mengenakan topi pendaki gunung, bercelana pendek, dan di beberapa bagian tubuhnya seperti betis, paha, lengan, dan punggung jari-jarinya terdapat tato. Waktu itu, saya menemuinya pertama kali di Pantai Tonrangeng, dan ia sedang membuat sketsa bentangan pemandangan laut dengan objek sampan yang terparkir di pesisir pantai, dan bertahun-tahun nanti, sketsa itu ia sajikan dalam pameran tunggal bertajuk "Kurusumange".
Kecintaanya kepada dunia lukisan bermula sejak ia masih kanak-kanak. Shiwa punya nenek yang membuka usaha warung makan. Di depan rumah neneknya itu, Shiwa sering melihat sekelompok orang melukis di atas kain atau tripleks untuk dijadikan sebagai poster film bioskop, dan mereka merupakan langganan si nenek. Terpukau oleh gambar-gambar dan kesenangannya membaca komik membuat ia semakin sering mengamati para seniman itu bekerja. Sampai suatu hari, para seniman pembuat poster ini kerap mengajaknya bermain cat dan menggambar. Memasuki usia remaja, Shiwa melanjutkan hasratnya melukis dengan bersekolah kejuruan khusus seni lukis.
Sepulang dari Pantai Tonrangeng hari itu, Shiwa mengajak saya dan salah seorang teman ke rumahnya untuk melihat-lihat karya lukisnya. Sebagian besar objek lukisannya mengeksplorasi alam dan feminitas. Di sana kami mengobrol berbagai hal, kemudian kepikiran membuat kegiatan peringatan Hari Sumpah Pemuda. Pada kegiatan peringatan itu, Shiwa membuat patung kepalan tangan setinggi 5 meter, melukis secara langsung, dan membuat sketsa beberapa pertunjukan yang dilakukan oleh teman-teman. Kegiatan ini pula yang menjadi jembatan awal bagi Shiwa untuk mengenal teman-teman dari berbagai komunitas. Selanjutnya, setiap kali teman-teman komunitas menggelar kegiatan, entah komunitas literasi, seni, dan lingkungan, Shiwa nyaris selalu berpartisipasi dan lukisannya menjadi ornamen penyemarak acara.
Pada kegiatan pertunjukan teater Air Mata Mina yang dirangkaikan dengan pameran lukisan, pertunjukan musik, dan pembacaan puisi, Shiwa berkesempatan menggelar karya-karya lukisnya. Seingat saya, itulah pameran lukisan perdananya di Parepare, kendati dapat dikata sebagai kegiatan pelengkap. Kegiatan itu diselenggarakan pada 22 Oktober 2016 di Gedung Pasar Kuliner. Ruangan diatur sedemikian rupa agar sebelum sampai di panggung utama, pengunjung terlebih dahulu melalui ruang galeri, tempat karya-karya Shiwa dipajang. Tiga ratus tiket masuk yang disiapkan terjual habis. Bahkan beberapa penonton tetap diperkenankan masuk meski tanpa tiket. Animo masyarakat menyaksikan pertunjukan teater ternyata sangat besar. Pertunjukan teater Air Mata Mina kala itu dapat dikatakan sukses.
Namun, keberhasilan kegiatan tersebut tampaknya meninggalkan kesan yang kurang menyenangkan bagi Shiwa. Dalam unggahan fotonya di Facebook bersama seorang teman dengan latar karya-karya lukisannya, ia menulis, "Di ruangan ini sepi, Teman. Hanya ada kau dan aku. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada bisikan puisi dan nyanyian, bahkan hentakan tongkat ke lantai tak terdengar. Hujan deras menambah kebisuan di ruangan ini. Malam bertambah dingin. Seperti cahaya bulan yang ada di dalam lukisan itu."
Seorang teman memberi tahu bahwa alasan di balik munculnya unggahan itu karena Shiwa mendapati bahwa para pengunjung tidak menyempatkan diri mengapresiasi karya-karyanya. Tak lebih dua puluh orang yang hanya mencatatkan namanya pada buku Daftar Pengunjung. Tentu ada banyak faktor mengapa demikian. Bisa karena sajian utamanya adalah pementasan teater dan para pengunjung datang sesaat sebelum pementasan digelar, ataukah seni lukis memang sejauh itu belum cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat Parepare, khususnya anak muda. Di Jakarta, Bandung, dan Bali, tempat-tempat di mana Shiwa pernah tinggal, iklim seni lukis dan seni rupa jelas jauh berkembang ketimbang Parepare. Hasrat berkesenian Shiwa saya kira bakal memudar, mengingat usianya waktu itu sudah mencapai 64 tahun. Namun, entah ininnawa jenis apa yang ia punya, ia malah melecut dirinya berkarya.
*
Pada tahun 2019, Shiwa terpilih sebagai seniman residensi dalam pergelaran Makassar Biennale. Makassar Biennale 2019 mungkin dapat disebut sebagai salah satu momentum besar dalam perjalanan kesenian Shiwa di Parepare. Karyanya waktu itu berupa diorama, yang menggambarkan peristiwa migrasi orang Enrekang ke Parepare tahun 1950-an. Diorama ini merupakan salah satu karya yang cukup mendapat perhatian dari segenap pengunjung pameran. Bagi saya, sungguh saya terharu oleh karya itu. Pasalnya, tak banyak seniman di kota ini yang berkarya dengan mengeksplorasi sejarah. Saya rasa, Shiwa tampaknya telah menemukan jalan bagaimana mendekatkan seni kepada orang-orang yang sebelumnya kurang begitu tertarik dengan patung dan seni lukis.
Suatu hari ia mengutarakan keinginannya menggelar pameran tunggal. Gagasan itu juga sudah pernah diobrolkan oleh teman-teman di komunitas, meski tanpa sepengetahuan Shiwa. Karena itu, ketika ia menyatakan keinginannya, teman-teman menyambutnya dengan antusias.
Pameran tunggal itu dihelat 27-31 Agustus 2021 di Setangkai Bunga Makka. Pengunjung pameran cukup beragam: mahasiswa, pengusaha, penggiat literasi, seni, dan budaya. Shiwa memamerkan 28 lukisan berukuran A4, dan semuanya dipajang di kolong rumah panggung, dan disusun berdasarkan letak geografis kota. Lukisan-lukisan itu menampilkan keadaan alam, aktivitas sosial, dan tempat-tempat ikonis yang ada di setiap kelurahan di Parepare. Ada sketsa perempatan jalan, keadaan pasar, gereja tua, daerah pesisir, dan lain sebagainya. Dalam pameran ini, kendati tujuan awal penyelenggaraan ialah untuk mengedukasi, tapi sejumlah pengunjung membeli lukisan sebagai bentuk apresiasi mereka.
Tiga bulan berselang, Shiwa ingin menggelar pameran tunggal lagi. Berkaca pada pameran sebelumnya yang dikerjakan tanpa kepanitiaan yang jelas, dan pendanaannya dari urunan teman-teman komunitas, dan ditambah kesibukan menjelang akhir tahun, kami menolak keinginan Shiwa itu.
"Ini pameran terakhir saya, Pak," katanya kepada teman-teman.
Saat itu usia Shiwa sudah 69 tahun. Ia sudah sering keluar-masuk rumah sakit karena mengidap gangguan prostat. Mempertimbangkan hal-hal tersebut, kami akhirnya memutuskan untuk menggelar pameran lagi.
Pameran dilangsungkan selama tiga hari. Shiwa memamerkan sebelas lukisan, berukuran A2, dan dibuat dengan media akrilik. Selama saya berpartisipasi dalam kepanitiaan pameran seni, mungkin kegiatan inilah yang paling elegan bagi saya. Pencahayaan, penataan ruang galeri, kelompok kerja, dan publikasi cukup memuaskan.
Semua lukisan yang disajikan dalam pameran ini ia kerjakan menjelang subuh--tetapi ia tak bergadang. Shiwa tidur sebelum pukul sebelas malam, dan bangun sekitar pukul tiga dini hari. Biasanya, begitu terbangun, ia langsung melukis. Peralatan melukis, kertas, dan kanvasnya memang selalu ia siapkan di samping tempat tidurnya.
Ada dua lukisan Shiwa yang memikat bagi saya kala itu. Pertama, lukisan yang menampilkan putri duyung bersikap mendekap dirinya sendiri (butterfly hugh), yang mencuat ke permukaan laut bergelombang dengan latar bulan. Lukisan ini didominasi warna biru dengan permainan gradasi yang terang. Saya menangkap kesan ketenangan dalam lukisan ini. Lukisan kedua ialah potret setengah bagian tubuh kuda dan seorang perempuan yang tampak membubung dengan latar galaksi. Lukisan ini merupakan olahan imajinasi Shiwa karena sering menonton saluran Discovery Channel mengenai black hole dan kenangan masa kecilnya ketika ia mengunjungi planetarium di Taman Ismail Marzuki. "Saya penasaran, karena lubang hitam itu menyerap cahaya. Saya mau masuk ke sana," katanya.
Dalam sesi diskusi, seorang peserta bertanya: mengapa Shiwa sering membuat lukisan dengan perempuan sebagai objek? Pertanyaan itu bukanlah kali pertama Shiwa dapatkan, entah diajukan oleh pengunjung, teman-teman, maupun dari wartawan. Terdapat 1.119 unggahan foto di akun Instagram Shiwa, dan sekitar 80% merupakan lukisan mengenai perempuan. Untuk pertanyaan itu, ia selalu menjawab, "Karena ibu saya adalah seorang perempuan."
Itu jawaban yang mungkin kurang memuaskan. Sama halnya ketika salah seorang teman menanyakan, mengapa sketsa wajah teman-teman pria yang Shiwa lukis selalu diberi anting? Atas pertanyaan itu, Ia tidak pernah menjawab. Namun, saya menginterpretasikan simbol itu sebagai kesediaan mendengarkan. Mungkin, bagi Shiwa, teman-teman yang ia lukis dengan menambahkan anting ini adalah orang-orang yang mau mendengarkan ceritanya, gagasannya, dan keluhannya.
Melukis, bagi Shiwa, selain sebagai medium berekspresi untuk menyalurkan emosi dan pikirannya, juga merupakan usaha mendaki menuju hal-hal yang bersifat ilahi. Saya tidak tahu, apa dan bagaimana orang-orang menangkap nuansa spiritual melalui lukisannya? Ia pernah menceritakan, pelukis yang menggunakan warna emas atau ungu dalam karyanya, biasanya berusaha mengungkapkan keadaan spiritualitas pelukisnya.
"Apa ada lukisannya yang melukiskan keadaan semacam itu?" tanya saya kepada Shiwa.
"Saya tidak berani, Pak. Saya belum sampai," katanya.
*
Shiwa yang saya kenal adalah orang yang teratur, disiplin, mandiri, dan keras kepala. Keteraturan dan kedisiplinannya membuatnya gigih dalam berkarya. Dan itu menjadi teladan bagi teman-teman seniman muda di komunitas. Ia juga mampu mengatasi gap generasi yang ia tunjukkan dengan sikapnya yang terbuka pada pendapat anak muda, serta mampu berbaur dan berkolaborasi. Mungkin sifat-sifat itulah yang membuatnya enggan dipunggungi oleh orang-orang muda.
Namun, kekeraskepalaannya benar-benar seperti baja. Ketika kaki kanannya membengkak karena prostat yang ia derita juga memengaruhi ginjalnya, dokter menganjurkannya segera cuci darah. Namun, ia selalu menolak. Sampai suatu saat, ia terjatuh dari tangga dan membuatnya hanya bisa berbaring di tempat tidur, dan setengah bagian tubuhnya lumpuh, dan gangguan ginjalnya semakin parah, barulah ia mau menurut untuk mencuci darah.
Jumat, 23 Desember 2022, sekitar pukul 10 siang, Shiwa meninggal. Ia dikebumikan menjelang salat magrib, di tengah siraman gerimis yang turun dengan lembut. Ia masuk ke dalam lubang hitam, sebagaimana rasa penasarannya mengenai galaksi. Ia tak seterkenal pelukis Affandi. Keterampilan melukisnya mungkin jauh dari maestro lukis yang ia kagumi seperti Vincent van Gogh dan Claude Monet. Karya-karyanya juga tak seagung dan semahal Leonardo Da Vinci. Namun, berkat kehadiran dan apa yang telah ia tinggalkan di kota yang tak akrab dengan seni rupa ini, Shiwa menjadi teman dan seorang pak tua yang membawa kegembiraan. Sudah sepatutnya kehidupannya kita kenang dan rayakan. []