Memperingati Hari, Melahirkan Buku
Kategori : Resensi
Penulis : Muliadi G.F.
Editor : Ilham Mustamin
“Tiada Hari Tanpa Buku!”
Di
Sekolah Dasar, kita sering mendapati poster di ruang kelas, atau ujaran
Bapak-Ibu Guru, berisi seruan itu. Sebuah ajakan untuk senantiasa mengakrabi
buku—mengeduk ilmu-pengetahuan dan menambah wawasan darinya.
Melalui
buku terbarunya, Sunardi Purwanda membalik susunan ajakan tersebut. Bagaimana kalau
“Tanpa Hari, Tiada Buku”? ‘Hari’ ia maknai
sebagai kehidupan, sedangkan ‘buku’ adalah peradaban. Hari mendahului buku;
hidup dulu baru kemudian berperadaban. Atau, meminjam kata-kata filsuf J.P.
Sartre, “eksistensi mendahului esensi”.
Berangkat
dari hal itu, Purwanda memulai sebuah proyek sederhana menghubungkan hari-hari
dengan sumber-sumber tertulis tentang hari-hari tersebut. Sepintas ini
mempunyai kemiripan dengan yang dilakukan Eduardo Galeano melalui buku Children of the Days—di mana melalui
tulisan-tulisan pendeknya dalam buku tersebut Galeano membentangkan momen-momen
historis yang mengandung potensi gaung mengglobal dari setiap tanggal dalam
setahun.
Dalam
buku Tanpa Hari, Tiada Buku (Sampan
Institute, 2016), Purwanda memilih sepuluh hari peringatan yang kerap dilupakan
dan terlupa untuk diperingati. Kemudian, ia “memperingati” dengan caranya
sendiri, yakni dengan menelusuri buku-buku yang terkait untuk menyentuh sejarah
hari tersebut.
Buku
ini berisi 10 tulisan. Tulisan pertama yang berjudul “Westerling dan Korban
40.000 Jiwa” adalah upaya Purwanda menelisik lagi sejarah Hari Berkabung
Nasional—yang mestinya jatuh pada tanggal 11 Desember tapi sampai hari ini
belum juga disepakati pemerintah sebagai hari bersejarah (hal.1)—dengan bantuan
buku Andi Mattalatta, Meniti Siri’ dan
Harga Diri.
Tanggal
tersebut pada tahun 1946 adalah hari ketika aksi kebiadaban Westerling dimulai,
di desa Batua afdeling Makassar, tempat
si Turki dan pasukannya menembaki penduduk desa yang telah dikumpulkan di suatu
lapangan. Disusul aksi serupa di daerah-daerah selatan Sulawesi Selatan,
sebelum berbalik meneruskan “tur berdarah” itu dari Maros kemudian menyusuri
pantai barat menuju daerah-daerah di bagian utara dan lainnya.
Pada
awalnya, media massa Belanda memuji aksi tersebut sebagai keberhasilan. Namun,
anggota-anggota Parlemen Belanda kemudian memprotes keras, setelah mengetahui
kejadian sesungguhnya dari brosur Massacre
in Macassar tulisan Raden Atmajaya yang telah diselundupkan ke mana-mana.
Aksi putra bangsa mereka di Sulsel dianggap setara dengan kekejaman Hitler dan para
penjahat perang lain (hal.7).
Setahun
kemudian, pada tanggal yang sama, Presiden Sukarno menyinggung aksi tersebut
melalui pidatonya di Yogyakarta pada peringatan setahun pembantaian Westerling.
Bung Besar menyebut jumlah korban sebanyak 40.000 jiwa, yang didasarkan pada
informasi Manai Sophiaan sebelum pidato dimulai. Dari pidato inilah kemudian
angka ’40.000’ dikenal luas.
Sampai
sekarang angka tersebut masihlah misteri. Mengenai itu, salah satu versi menyatakan
...angka 4 dengan sebutan untuk angka 40, 400, 4.000, atau 40.000 dalam
hitungan orang Bugis-Makassar adalah angka yang tak terhingga jumlahnya,
seperti di Jawa [hubungan angka] 1 dengan angka 10, 100, atau 1.000 yang
menjadi angka tak terhingga” (hal.8). Di akhir bab, Purwanda mengajak kita
mempertanyakan kembali mengapa 11 Desember tidak juga diperingati sebagai Hari
Berkabung Nasional.
Tulisan
kedua, “Epos Bahari Orang Sulawesi Selatan”, berangkat dari Hari Peristiwa Laut
dan Samudera setiap tanggal 15 Januari. Purwanda “memperingati”nya dengan
menyelami buku Hukum Laut, Pelayaran, dan
Perniagaan tulisan Baharuddin Lopa, yang bermuara pada ketokohan Sultan
Alauddin yang menentang usaha Belanda untuk menguasai seluruh bandar
perniagaan, atau dengan kata lain, menguasai lautan Nusantara.
Dengan
titik berangkat yang sama, melalui bab-bab selanjutnya Purwanda menelusuri
delapan hari lain, antara lain: “Kemiskinan dan Gizi Buruk” untuk Hari Gizi dan
Makanan yang jatuh setiap tanggal 25 Januari; “Dari Pram untuk Tirto” untuk Hari
Pers Nasional 9 Februari;“Gerakan Revolusi yang Gagal” untuk Hari Peringatan
PETA 14 Februari (tanggal ini akan mengingatkan kita pada hari lain yang lebih populer);
“Kepentingan di Balik Logika Hukum” untuk Hari Kehakiman Nasional 1 Maret; “Perempuan
dalam Arus Pendidikan” untuk Hari Perempuan 8 Maret; “Damai dalam Alunan
Keroncong” untuk Hari Musik Nasional 9 Maret; “Negara Hukum yang Membahagiakan
Nelayannya” untuk Hari Nelayan Indonesia 6 April; dan “Puisi, Penyair, dan
Angkatan” untuk Hari Puisi Nasional 28 April.
Terlepas
dari beberapa kekurangan dalam buku ini, misalnya beberapa typo, yang sepertinya
dipengaruhi juga oleh ketiadaan penyunting/editor buku ini, Purwanda telah
menunjukkan kepada kita salah satu cara untuk memperingati hari-hari yang
mengandung gaung historis dan kultural yang justru kerap kali kita lupakan.
Satu hal lagi yang patut disambut baik adalah buku yang terlahir dari kolaborasi penulis muda dan penerbit muda Parepare ini adalah wujud geliat penciptaan buku di “pinggiran”, terlepas dari “pusat” industri buku di kota-kota besar. Dan bila kelak, seumpama momen terbitnya buku ini juga dikenang sebagai hari bangkitnya budaya penciptaan buku di Kota Parepare, teranglah buku Purwanda ini akan menjadi salah satu acuan. Akan tetapi, pernyataan terakhir ini masihlah berupa harapan; pembuktiannya untuk sementara kita serahkan kepada ‘hari’, kepada ‘kehidupan’. []