Mali’ Yang Tidak Lagi Siparappe: Parepare, Intoleransi dan Runtuhnya Mitos Kebudayaan Bugis
Kategori : Esai
Penulis : Ahmad SM
Editor : Ilo.I.D
Mali’ Yang Tidak Lagi Siparappe: Parepare, Intoleransi dan Runtuhnya Mitos Kebudayaan Bugis

“Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan"—(Imam Ali). 

“Apakah warga Parepare intoleran?” Entah pertanyaan model seperti ini naif atau tidak, namun jawaban dari pertanyaan tertutup tersebut sangat bergantung sejauh apa para pembaca menelusuri musabab Parepare menduduki peringkat nomor satu dari Indeks Kota Toleran (IKT) yang belum lama dirilis oleh SETARA Institute.

Pertanyaan tersebut bisa memberi kesan menuduh bagi sebagian orang, atau terlampau kasar bagi mereka yang terbiasa hidup dalam narasi Parepare sebagai “kota cinta”, “kota bandar madani”, atau “kota kelahiran Habibie”. Oleh karena itu, pertanyaan ini layak diajukan secara jujur—karena fakta hari ini bukan asumsi belaka, melainkan realita getir.

Kota Parepare baru saja mencatat sejarah kelam: menempati peringkat paling buncit dalam Indeks Kota Toleran (IKT) 2024 versi Setara Institute—itu berarti peringkat pertama sebagai kota paling intoleran di Indonesia. Sebagai warga yang menyaksikan dari jauh, saya tak sekadar menyaksikannya. Saat puncak demonstrasi besar-besaran menolak pendirian Sekolah Kristen Gamaliel di akhir 2024 lalu, saya secara sadar melaporkan peristiwa ini ke beberapa jejaring nasional, salah satunya SETARA Institute. Ini saya lakukan bukan karena benci, namun justru karena cinta, dan karena saya menolak hidup dalam kepura-puraan. Dan boom! Akhir Mei 2025, Parepare resmi menyandang gelar yang menyakitkan itu: kota paling intoleran. Tak dinyana, paling puncak dan menggeser kota-kota yang berasal dari provinsi Jawa Barat yang biasa bertengger di posisi 3 besar.

IKT merupakan publikasi rutin SETARA Institute sejak pertama kali dipublikasikan pada tahun 2015 silam. IKT merupakan sebuah studi yang mengukur kinerja masyarakat dalam mengelola keberagaman, toleransi dan inklusi sosial. Pengukuran IKT mengkombinasikan paradigma hak konstitusional warga sesuai jaminan konstitusi, hak asasi manusia sesuai standar hukum HAM internasional dan tata kelola pemerintahan yang inklusif. 

Dalam laporannya, SETARA menyebut bahwa dalam studi ini, suatu kota mendapat skor terendah bukan hanya disebabkan terjadinya peristiwa intoleran ataupun hal-hal lainnya yang desktruktif terhadap intoleransi, namun juga disebabkan oleh ketiadaan fokus dan inovasi terhadap pemajuan toleransi di kotanya, sementara kota-kota lain telah bergegas melakukan inovasi maupun terobosan dalam pemajuan toleransi.

Sekali lagi, ini bukan sekadar persepsi, bukan pula nyinyir politik. Ini adalah potret empirik tentang bagaimana kita meresepsi dan memperlakukan perbedaan.

***

Tak sulit ditebak, salah satu luka terdalam yang tak bisa diabaikan adalah peristiwa yang menimpa Sekolah Kristen Gamaliel. Kasus yang terjadi di tataran lokal tersebut isunya bereskalasi ke tataran nasional. Tak kurang dari satu dekade, sekolah ini mengurus izin mendirikan bangunan, namun selalu terkatung. Dan di masa ketika harapan mulai tumbuh, segelintir orang yang mendaku "paling Islam" justru muncul sebagai tembok penghalang. Menolak. Meradang. Menuding seolah sekolah ini ancaman terhadap akidah bagi orang yang dengan kuantitas banyak di mana sekolah tersebut didirikan.

Peristiwa ini bukan sekadar butterfly effect, bukan efek riak kecil dari satu batu yang dilempar ke danau. Ini adalah bagian dari gelombang besar yang oleh antrolopog Belanda, Martin van Bruinessen, disebut sebagai conservative turn. Sebuah arus balik menuju konservatisme sosial-keagamaan yang membentuk lanskap kultural baru: sempit, eksklusif, dan mudah tersulut oleh retorika puritan.

Lebih dari itu, kita juga sedang menyaksikan gejala undersiege mentality: semacam sindrom pengepungan, di mana sekelompok orang meyakini bahwa agamanya sedang terancam, meski kenyataan tak seperti itu. Mentalitas ini, ketika dibiarkan, melahirkan apa yang oleh Johan Galtung, sosiolog Norwegia sebut sebagai kekerasan kultural: kekerasan yang tidak memukul fisik, namun melumpuhkan martabat. Kekerasan yang tak berdarah, namun menyisakan luka, dan tak pelak diwariskan.

Parepare pernah diimajinasikan sebagai kota bandar madani—ruang hidup yang menggabungkan banyak nilai, baik itu nilai budaya maupun agama dengan keterbukaan terhadap perbedaan. Namun kini, yang kita miliki hanyalah retorika yang nirmakna. Kota ini gagal menjadi inklusif. Dan kegagalan itu bukan karena kekurangan konsep, melainkan karena kelambanan kita mengikis intoleransi yang diam-diam terus mengakar. Lalu ke mana nilai-nilai luhur Bugis? Di mana mali siparappe, semangat untuk menolong siapa pun yang sedang hanyut?

Tradisi orang Bugis menempatkan kehormatan dan kemanusiaan di atas tembok suku dan agama. Mali siparappe berarti siapa pun yang tenggelam, wajib kita tolong—bukan kita cemooh karena ia beda perahu. Namun, ketika saudara kita sesama warga tak bisa mendirikan sekolah hanya karena beda agama, dan kita diam, maka kita sudah menanggalkan warisan leluhur kita sendiri. Kita kehilangan rasa malu di tengah pujian, dan kehilangan keberanian di tengah tekanan. Siri’ mestinya bukan hanya menjaga harga diri sendiri, tapi juga membela mereka yang diinjak-injak meski tak sedarah, atau seiman. Atau, mungkin kita lebih senang jadi merapal mantra-mantra kebudayaan tersebut, tetapi gagal mempraktikannya, khususnya ketika tetangga atau saudara kita sendiri mendapat diskriminasi—semoga tak ada lagi dikotomi melihat “saudara” hanya yang sama iman atau agamanya! 

Parepare bukan kota kecil. Ia kota pelabuhan, kosmopolit sejak lama. Sejak abad ke-18, ia menjadi titik temu para pedagang Mandar, Toraja, Bugis, Arab, Cina. Pelabuhan Parepare menjadi simpul ekonomi yang mempertemukan berbagai etnis dan agama. Sejarah kolonial bahkan mencatatnya sebagai titik transit penting antara pesisir barat Sulawesi dengan Makassar. Kota ini lahir dari lalu lintas manusia dan ide, bukan dari garis pagar. Ironinya, kota dagang ini kini takut akan perbedaan. Kota pelabuhan ini kini curiga pada kapal asing. Menolak perbedaan, curiga pada agama lain. Kita khawatir dengan bangunan kecil yang berdiri di luar warna mayoritas. Dari kota pelabuhan yang terbuka, kita berubah menjadi kota pagar yang sempit. Dari “kota cinta”, kita menjelma menjadi kota takut.

Laporan SETARA bukan sekadar ranking. Ia adalah panggilan moral. Bagi pemerintahan yang baru, laporan ini adalah cambuk yang sah, sekaligus warisan luka dari pemerintahan sebelumnya. Kita tak bisa menyapu bersih warisan intoleransi hanya dengan slogan. Kita juga tak bisa menolak data hanya karena merasa disudutkan. Saat ini, yang dibutuhkan bukan bantahan emosional, tapi keberanian kultural dan kehendak politik untuk mengakui bahwa kita memang sedang tidak baik-baik saja.

Jika benar kita ingin Parepare menjadi rumah bersama, maka kita harus memulai dari bawah: dari keberanian menegur diri, dari kejujuran untuk mengakui kegagalan, dan dari komitmen memperbaiki diri tanpa menuding orang lain. Riset SETARA adalah pil pahit yang menyehatkan. Ia seperti cermin yang menunjukkan luka lama yang kita sembunyikan dengan bedak budaya. Kita bisa membanting cermin itu karena marah, tetapi wajah kita tetap sama: penuh bekas luka yang belum diobati.

Semoga, dan semoga—ini doa dari tanah rantau—Parepare tak hanya jadi kota cinta dalam baliho pemerintah, tapi jadi rumah sungguhan bagi siapa saja—entah ia datang dengan salib, sajadah, dupa, atau bahkan hanya membawa niat baik.

Semoga ini jadi cambuk untuk berbenah, bukan untuk berkilah.

Tabe’.

***

Ahmad SM, kolumnis dan pemikir kebhinekaan kelahiran Parepare.