Lidah Bu Lunia
Kategori : Cerpen
Penulis : Pangerang P. Muda
Editor : Ilo.I.D
Lidah Bu Lunia

Menyusul ponsel yang terbanting ke karpet tebal, serapah Bapak terdengar demikian ganjil mengutuk entah siapa yang punya ide memasang kamera depan pada benda yang ia banting itu, sampai orang-orang bisa menggunakannya memotret diri sendiri. Rutuk Bapak selanjutnya tak kalah ganjil; ia bilang, gara-gara fitur pada ponsel itu, peruntungan istrinya menjadi berantakan. 

Tidak berani saya menanyakan apa kaitan kemarahannya dengan fitur kamera depan pada ponsel. Saya hanya bisa mengangguk-angguk mendengar ia terus menyerapahi ponsel itu, meski sudah ia ambil kembali. Untung karpet lantai yang menadah bantingannya cukup tebal; seandainya di atas lantai granit, ponsel itu pasti sudah terhambur. 

Bu Lunia, istri Bapak, tidak keluar-keluar dari kamar. Setahu saya di sana dia menangis, tangis sesal pada kejadian yang menimpanya, di mana kasak-kusuk merebak di antara kami bahwa kejadian sial itu bermula dari kamera depan pada ponsel yang tadi dibanting Bapak; dan barusan sudah diambilnya kembali. 

Dalam paras geram, Bapak meminta seluruh staf berkumpul. Kami ada enam orang, yang cuma bisa berdiri menunggu, sedang di sebelah meja Bapak duduk mencondongkan badannya ke depan seraya berkata, “Harus ada yang memikirkan cara menyembuhkan … maksud saya, memulihkan kondisi Ibu. Waktu kita tidak banyak, soalnya.” 

“Ada dokter yang…,” secepat cetus kata dari mulut seorang staf, secepat itu pula Bapak menyela, “Bukan dokter. Kamu mau, kalau kejadian ini menyebar keluar, dan mempermalukan kita?”

Semua akhirnya terdiam, sampai salah seorang staf ragu-ragu membuka mulut, ”Kalau dukun…,” dan seperti sebelumnya, sela Bapak juga selekas kata yang terlepas dari mulut staf tadi, “Itu yang saya maksud; dukun, atau bisa juga kita menyebutnya orang pintar.”

Staf tadi kemudian langsung sibuk menelepon, setelah sebelumnya berujar lirih bahwa orang yang dia hubungi adalah keluarga dekatnya, yang mengenal baik serta tahu tempat tinggal dukun alias si orang pintar itu. Setelah itu dia meyakinkan Bapak bahwa keluarga dekatnya itu bisa dipercaya memegang rahasia. 

“Tempatnya di luar kota, Pak,” sahut staf tadi setelah menutup teleponnya. “Tapi tidak terlalu jauh.”

“Sedekat apa pun, kita tidak boleh ke sana,” sergah Bapak. “Risikonya besar. Di sana kita bisa bertemu banyak orang, baik pasien-pasiennya maupun pengantarnya. Kalau ada yang tahu tujuan kita ke sana, lalu ada yang menyampaikan ke lawan kita, isunya bisa digoreng sedemikian rupa.”

Sebelum yang lain selesai berpikir, Bapak menitahkan, “Bujuk baik-baik dukun itu supaya bersedia kita ajak ke sini. Syukur-syukur dia mau jadi tim kita, biar dia bisa terus menjaga kondisi Ibu. Negosiasikan, selama ikut dengan kita, berapa bayaran yang dia minta.”

*

Sebagai staf yang cuma kebagian tugas membantu-bantu semua urusan, saya tidak punya hak urun-pendapat kalau tidak diminta. Lagi pula, Bapak punya staf lain yang terdiri dari orang-orang pandai, yang digelari barisan pemikir, di mana tugasnya lebih intens ke pengaturan strategi pemenangan. Kepada merekalah Bapak meminta urun-saran bila ia bingung. Karena setiap saat saya harus siap disuruh membantu urusan apa saja, makanya saya tetap diperkenankan berada di dekat-dekat mereka; sampai saya bisa menceritakannya di sini.

Yang memicu ketegangan pada semua staf, terlebih Bapak, karena jadwal kampanye dan debat kandidat makin dekat, sementara kondisi Bu Lunia belum pulih. Saya tahu beliau sedang tidak sehat, tapi saya tidak paham dia sakit apa. Masalahnya, beliau telah resmi diusung maju dalam pilkada, tentu dengan gelontoran dana tidak sedikit dari Bapak, dan kondisi istrinya yang diserang penyakit aneh itu membuat Bapak linglung. 

Tidak mungkin lagi mengganti Bu Lunia; di samping Bapak memang tidak mau ada kandidat lain dari partainya yang maju, juga karena Bu Lunia sudah resmi terdaftar, dan sudah punya nomor urut. Balihonya pun sudah tersebar menutupi sudut-sudut strategis seantero kota. 

Kita kembali ke soal sakitnya  Bu Lunia. Sekilas dari beberapa kali melihatnya, saya merasa beliau tidak sakit. Wajahnya tetap cantik, hanya saja senyumnya yang biasanya rajin dia lepas, akhir-akhir ini memang tidak lagi. 

Di sudut beranda, saya dekati seorang staf dari tim pemenangan yang akrab dengan saya, lalu kasak-kusuk menanyakan sakit apa gerangan yang mengganggu istri Bapak. 

“Sakit di lidahnya,” kata staf itu.

“Jadi cuma sariawan?” Saya tautkan kedua ujung alis; hanya gangguan penyakit sepele menimpa istrinya, sampai membuat Bapak sepanik itu? Sampai membanting ponsel segala? Setahu saya, makan banyak buah, atau sering-sering minum vitamin C, sakit sariawan sudah bisa sembuh.  

Saya mau mengusulkan obatnya tapi staf itu sudah menyela, “Tidak seperti itu, bukan sariawan. Lidah Ibu itu sulit dia kendalikan. Setiap kalimat yang mau diungkapkan, selalu lain yang terucap. Jadi selalu berkebalikan dari apa yang mau dia bilang. Misalnya nih, Bu Lunia mau bilang ke kiri, yang keluar dari mulutnya malah ke kanan. Itu contoh sederhananya. Dan menurutnya, penyakit yang menjadi penyebab ada di lidahnya.”

Penjelasan dari staf itu membuat saya penasaran, lalu bingung, lalu makin menempel ke tim pemenangan untuk nguping. 

*

Dari hasil nguping saya menyimpulkan penyakit yang diderita Ibu memang bahaya, bukan cuma bahaya bagi dirinya tapi juga pada tim pemenangan. Pantaslah Bapak sedikit-sedikit mengumpulkan lagi tim, kali ini sambil marah-marah lagi.

“Untung belum terekspos keluar!” Bapak berteriak. “Penyakit aneh apa ini!”

Memang aneh! Meski tidak ikut mendengar langsung, tapi dari percakapan yang saya simak, ya memang aneh. Sangat aneh! Dari simulasi orasi kampanye terbatas yang dilakukan di internal tim pemenangan, saya mendengar cerita ketika Ibu mau bilang, ‘Bila saya terpilih nanti, maka saya akan menggratiskan seluruh biaya yang membebani warga’; eh, dari mulutnya, yang katanya atas perintah lidahnya, kalimat yang terdengar malah, ‘Bila saya terpilih nanti, maka semua urusan dengan pemerintahan, warga harus bayar!’. Lalu, ketika disodorkan konsep untuk mengatakan, ‘Bila saya terpilih, maka sekolah, dan rumah-rumah warga yang tidak layak huni, akan saya pugar semua!’; kalimat yang keluar dari mulut Ibu malah, ‘Bila saya terpilih, maka sekolah, dan rumah-rumah warga yang tidak layak huni, akan saya rubuhkan semua!’ Percobaan terakhir, hasilnya sama saja; konsepnya jelas mengatakan, ‘Kalau saya terpilih, saya akan memperhatikan kesejahteraan warga’, dan yang keluar dari mulut Ibu malah, ‘Kalau saya terpilih, saya akan melupakan warga’. 

Sampai Bapak berteriak, sambil mengibaskan tangan, “Kita bisa habis … bisa-bisa kita akan dihabisi oleh lawan-lawan kita!” 

*

Yang tak selesai-selesai saya pikirkan, apa hubungannya dengan kamera depan pada ponsel? Sampai Bapak marah-marah dan membanting ponsel milik Ibu, dan mengatakan ‘gara-gara kamera depan ponsel itu membuat peruntungan Ibu berantakan?’ Maksud saya, apa kaitannya kamera depan ponsel dengan penyakit di lidah Ibu itu?

Akhirnya, tim pemenangan mengambil kesimpulan: pihak lawan telah mengguna-gunai Bu Lunia, sampai lidahnya bermasalah. Malah mulai ada kasak-kusuk: jangan-jangan di dalam tim pemenangan ada yang menjadi penyusup, telah memasukkan sesuatu ke makanan atau minuman Bu Lunia, yang membuat lidah beliau selalu membolak-balik kalimat yang hendak ia ucapkan.

Untuk menghindari perpecahan dalam tim pemenangan, yang malah menambah kisruh urusan, Bapak memutuskan, “Tidak usah saling menyalahkan! Secepatnya bawa dukun atau orang pintar itu ke sini! Obati lidah Ibu itu!”

“Mulai sekarang, Ibu tidak boleh lagi menghadiri jamuan makan!” Bapak berteriak lagi kepada tim pemenangan. 

“Bagaimana kalau kampanye terbuka, yang diisi orasi-orasi dari Ibu, kita ganti saja dengan kampanye spanduk dan selebaran?” usul salah seorang dari tim pemenangan. “Pokoknya, Ibu dibatasi berbicara. Dan baliho juga kita perbanyak. Kampanye lewat media sosial kita gencarkan….”

“Sampai orang-orang bilang, calon kita bisu?” potong Bapak mangkel.

“Ngawur!” kali ini Bapak membentak. “Dasar kalian; bukan jadi tim pemikir, tapi tim pengoceh!”

*

Tidak boleh ada kata mundur dari Bu Lunia, titah Bapak. Apa pun kendala yang dihadapi, Bu Lunia harus menang dalam pilkada ini!

Bu Lunia memang sudah kerap tampil di muka umum. Sebelum-sebelumnya beliau dikenal piawai mengolah kata saat berpidato; ditunjang paras yang cantik menawan, khalayak sering dibuat takjub saat menyimak beliau saat memberi sambutan: takjub sambil ternganga.

Menyusul terpilih menjadi pimpinan beberapa organisasi kemasyarakatan, Bu Lunia kemudian jadi populer. Sebagai pengusaha besar dan ketua partai, Bapak atau suaminya akhirnya membujuk Bu Lunia saja yang maju di pilkada menantang calon-calon lain alih-alih dirinya. Saya mengira, menurut hitung-hitungan Bapak, ‘daya jual’ istrinya untuk terpilih melebihi dirinya.

Namun, urut-urutan semua proses menuju kemenangan menjadi berantakan dengan adanya penyakit di lidah Bu Lunia itu. Pantaslah Bapak tak hilang-hilang marahnya.

*

Dan akhirnya tim pemenangan dikumpulkan lagi. Ruang tengah rumah Bapak yang demikian lapang, dengan AC full menyembur dari setiap sudut dan sisi-sisi permukaan dinding, tak juga bisa mengusir gerah di antara wajah-wajah yang tegang.

Sehari sebelumnya Bu Lunia sudah dibawa ke dukun alias si orang pintar itu, dan hasilnya hanya satu kesimpulan tidak meyakinkan dari dukun: Ibu baik-baik saja, mungkin hanya terlalu tegang menghadapi kontestasi. Bapak yang tidak ikut ke tempat dukun itu, begitu dilapori hasilnya langsung menyalak, “Bodoh! Ternyata bukan orang pintar!”

“Bagaimana kalau lidah Ibu dioperasi saja, Pak?” usul salah seorang dari tim pemenangan. Hampir saja dia diusir dari ruang pertemuan setelah Bapak menghardiknya, “Kamu mengusulkan lidah istri saya dipotong?!” 

Terus terang, saya ikut kasihan melihat ekspresi Bapak yang berubah dari tegang menjadi memelas. Beliau bersandar di kursi besarnya, memejamkan mata; dan saat semua yang hadir terdiam mendadak Bu Lunia muncul, keluar dari ruang belakang.

Dan berceritalah Bu Lunia, setelah dia mengawalinya dengan kalimat, “Semua kericuhan ini awalnya dari ulah saya sendiri….”

Lumayan panjang penjelasan beliau, dan bisa jadi beberapa dari kami yang hadir saat itu sulit memahaminya; lebih tepatnya, otak kami sulit mencernanya. Jadi saya coba ringkas saja di sini: Pada setiap kunjungan, di tengah kerumunan, Bu Lunia selalu menyempatkan berswafoto dengan warga dan pendukungnya. Menurut beliau itu dokumen sekaligus bahan kampanye yang memperlihatkan betapa senang warga masyarakat padanya. Namun, pada suatu kesempatan, saking senangnya dikerubuti ibu-ibu pendukungnya yang menemaninya berswafoto sambil menjulurkan lidah, Bu Lunia ikut pula meleletkan lidah, dan tanpa beliau sadari seekor lalat nemplok di lidahnya. Lalat itu terus di situ, demikian pengakuan Bu Lunia, dan sudah bermacam-macam cara dia lakukan untuk mengeluarkan tapi tetap saja lalat itu lengket, seakan menyatu dengan permukaan lidah Bu Lunia. “Saya malu mengakuinya, makanya tidak pernah menceritakannya,” demikian pungkas Bu Lunia. “Karena sejak kejadian lalat nemplok itu, lidah saya ini sulit saya kendalikan….”

Saya melirik Bapak, yang menatap tajam tiga ponsel di atas permukaan meja di depannya. Usil benak saya menduga, Bapak mungkin sedang berpikir keras untuk mencongkel saja kamera depan pada ponsel-ponsel itu.

***

Parepare, Mei 2022/Januari 2025