Laut Bercerita tentang Indonesia yang Tenggelam
Kategori : Reportase
Penulis : Azwar Radhif
Editor : Tim SI
“Matilah engkau mati. Kau akan lahir berkali kali”
Penggalan kalimat dari penulis Soetardji Calzoum yang dikutip Leila Chudori di buku Laut Bercerita menjadi pembuka cerita buku yang dipantik oleh teman kami, Vera, malam kemarin. Sudah hampir sebulan kami merencanakan mendiskusikan buku ini, entah bagaimana awalnya, mungkin karena kami belum punya planning untuk membahas buku apa di pekan berikutnya, dan sepertinya Vera sendiri yang begitu bersemangat menceritakan pengalaman membaca buku ini. Kemudian disambut Firda dan Eca yang tiba tiba memborong 2 buku Laut Bercerita yang tersisa di toko. Jadilah kami mulai mengatur waktu dan bagaimana jalannya kegiatan bercerita ini.
Vera sendiri yang awalnya ragu ragu, tetiba begitu serius mempersiapkan diri. Hingga dengan giat menulis catatan beberapa halaman di bukunya dan beberapa malam mendiskusikan buku ini bersama Firda dan Eca di toko. Melihat antusias mereka rasanya saya pun harus membaca buku ini. Jadilah saya dan beberapa teman, seperti Michelle, Syahrial dan beberapa kawan lainnya membaca buku ini untuk pertama kalinya.
Beberapa kawan yang dulunya pernah membaca buku ini juga terpantik untuk membacanya kembali. Meski pada akhirnya saya belum sempat menyelesaikan keseluruhan isi buku. Karena sepertinya saya perlu meluangkan waktu beberapa jam sehari untuk betulbetul fokus membaca dan membayangkan bagaimana kehidupan Laut, tokoh utama di buku ini yang kisah hidupnya penuh haru.
Rabu malam, 21 Agustus kemarin di Interaksi, setelah beberapa hari yang lalu perayaan kemerdekaan digelar dengan megahnya di Istana Negara yang baru, kami duduk melingkar bersebelahan saling bercerita pengalaman kami membaca buku Laut Bercerita. Sebenarnya kegiatan seperti ini rutin kami lakukan setiap bulannya .Yang menjadi pembeda dari cerita buku sebelum sebelumnya adalah kami mengemas cerita buku ini dengan lebih sedikit meriah, di mana ada penampilan seni musik dan sketsa.
Suatu kesyukuran sendiri bagi kami memiliki beberapa teman yang punya kemampuan berkesenian yang tidak biasa. Ada Ame dengan pertunjukan melodi relaksasinya dan Syahrial yang menggambar cerita di buku ini dengan skesta di kertas lebar. Dengan Firda, teman multi talent kami yang bertugas menjadi pemandu cerita buku kali ini. Setelah lewat beberapa puluh menit dan merasa peserta sudah lumayan banyak, Firda memulai membuka kegiatan ini.
Cerita buku dimulai dengan penampilan Ame dan gitar kesayangannya. Ame termasuk penampil yang mandiri, semuanya ia persiapkan sendiri, dari gitar, sound, effect, melod ibahkan kopi ia beli sendiri. Tuan rumah sepertinya kurang peka, dan Ame tipikal kawan kami yang nyaris tidak pernah mau dibelikan apapun. Suasana begitu hening menanti Ame bersenandung dengan gitarnya. Sebelumnya saya sempat memintanya untuk mengisi acara, meski beberapa kali Ame terlihat enggan dan malu malu, sembari berharap semoga tidak banyak orang yang datang. Selama beberapa menit tampil dengan melodi yang telah ia siapkan beberapa hari lalu, dan berhasil membuat kami menyelami emosinya. Ame memang tidak pernah gagal menghibur kami.
Setelah beberapa menit khusyu’ mendengar suara gitar Ame, Firda melanjutkan dengan mempersilakan Vera memulai menceritakan pengalamannya membaca buku ini. Vera bercerita kalau ia telah membaca buku ini beberapa tahun lalu, dan kembali mengulangnya untuk persiapan diskusi. Sedikit berbeda dengan pembahasan di buku yang alurnya maju mundur, Vera menceritakan sosok Laut dari masa kecil, keluarga, minat, kisah percintaannya, perjuangan hingga bagaimana ia disekap kemudian dihabisi dengan cara yang tak lazim. Badannya di tendang dari pinggir tebing pantai dengan kaki yang terborgol batu besar.
Laut adalah tokoh utama di buku ini. Ia adalah seorang anak yang bertumbuh di lingkungan keluarga yang sederhana nan romantis. Ayahnya seorang jurnalis di surat kabar dan pendengar The Beatles, sedang ibunya seorang fotografer yang juga chef handal di rumah kecilnya. Tak lupa adik kesayangannya, Asmara penyuka sains dan sosok pejuang yang tak berhenti menyuarakan kakaknya yang hilang dihabisi rezim. Di akhir bukunya diceritakan, Asmara bersama keluarga korban yang anaknya juga hilang diculik membuat gerakan bernama Aksi Kamisan, yang setiap Kamis siang menggelar aksi di depan istana negara menuntut keadilan.
Vera sempat berhenti beberapa detik menarik napas panjang, dengan terbata bata ia melanjutkan ceritanya. Laut melanjutkan kuliah di Jogja dan bertemu beberapa kawan yang punya keresahan yang sama akan kekuasaan rezim yang sewenangwenang kepada orang kecil. Bersama beberapa kawannya mereka mendirikan kelompok gerakan yang nantinya membesar dan dianggap membahayakan status quo pemerintah.
Dari sinilah cerita persahabatan, cinta dan penghianatan bergejolak. Tentang bagaimana mereka berjuang satu sama lain dari kejaran aparat dan mengalami penyiksaan yang begitu keji. Kisah cinta yang bertumbuh di hati Laut dan Anjani, perempuan pelukis yang dikenalnya dari organisasinya. Serta pengkhianatan salah seorang temannya yang tak pernah mereka duga, yang melaporkan setiap hasil rapat dan tempat tinggal mereka, membuat mereka diciduk satu persatu. Gaya menulis Leila membuat pembaca mudah membayangkan suasana di masa masa orde baru, masa di mana aktivitas sosial dibatasi negara, termasuk membaca buku yang dicap buku terlarang seperti buku Pramoedya yang menjadi kisah awal pertemuan Laut dengan Kinan, tokoh perempuan penggerak di organisasi Wirasena.
Peserta cerita buku terlihat menyimak dengan begitu serius cerita dari Vera. Beberapa peserta juga menceritakan pengalamannya membaca buku ini. Dimulai dari Fatul yang mulanya terkecoh dengan sampul bukunya, yang mengira novel ini tentang keindahan laut. Sepintas dari sampulnya bila kita tidak memperhatikannya dengan jeli, kita mungkin luput memperhatikan kaki yang terbenam di dasar laut sehingga hanya fokus dengan gambar eksotisme bawah laut yang hampir memenuhi keseluruhan sampul dan mengiranya novel pop romantis.
Kemudian Aryo menimpali dengan membahas ketidakbecusan negara mengurusi kasus pelanggaran HAM yang hingga hari ini tidak menemui titik terang. Padahal sudah 1.000 kali Aksi Kamisan digelar, tapi negara seolah abai dan lepas tangan, bahkan para pelaku masih berkeliaran dan menduduki posisi posisi strategis. Senada dengan itu, Ilham Mustamin yang mulanya membahas gaya penulisan di buku ini, menyinggung masyarakat kita yang masih banyak tidak memahami sejarah atau disebutnya ahistoris. Ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana kurikulum dan penyampaian guru sejarah di sekolah yang nyaris tidak pernah menceritakan kisah kelam bangsa ini kepada para siswanya.
Beberapa kawan lainnya juga menceritakan analisisnya terkait buku ini, ada yang membahas bagaimana Leila Chudori memberi porsi yang besar kepada perjuangan perempuan, seperti Kinan, Anjani dan Asmara yang menjadi tokoh penting penggerak perlawanan, serta beberapa kata yang maknanya di konstruk hingga berarti negatif selama masa orde baru, seperti dalang yang dulunya berarti pemain wayang yang kini bermakna otak pelaku kejahatan, begitu juga dengan komunisme, radikalisme dan masih banyak lainnya.
Selama obrolan berlangung, di pojokan dekat meja kasir, Syahrial nampak asik mewarnai sketsanya. Seolah tak terganggu konsentrasinya dengan pembahasan yang temponya naik turun, dirinya terus saja mewarnai kanvas kertas yang telah ia siapkan sejak sore tadi. Sudah beberapa hari ini ia sibuk bercerita dengan teman yang sudah membaca buku ini, untuk mengumpulkan ide yang nantinya ia sulap menjadi gambar. Di kanvas yang sebetulnya adalah karton putih polos, ia menuangkan kisah kisah di buku ini dengan ilustrasi membentuk kumpulan gambar. Nantinya gambar ini akan kami pajang di toko, bersama karya karyanya yang telah lebih dulu menghiasi tembok tua Interaksi.
Waktu sudah hampir pukul 11 malam, pembahasan kian memanas. Persoalannya sore tadi dalam satu sidang yang digelar hanya beberapa jam, DPR RI mengubah putusan MK yang merevisi batas usia calon gubernur untuk meloloskan anak presiden mencalonkan diri di Pilkada. Ini hanya berjarak beberapa hari dari sidang MK dan terkesan melanggengkan politik dinasti Presiden. Partai partai yang hampir semuanya masuk koalisi propemerintah nampak sewenangwenang, mereka memutuskan apa yang menjadi kepentingannya yang jauh dari aspirasi masyarakat. Ini membuat kemarahan publik bergejolak, termasuk kami yang nampaknya sudah jenuh dengan politik kotor para elit.
Di akhir cerita, Vera membaca potongan surat yang ditulis Laut ketika telah ditenggelamkan ke dasar laut kepada adiknya Asmara. Surat yang kembali membuat Vera dan seorang kawan perempuan di pojokan mengelap tisu di pinggir matanya. Kami merasa perlu berterimakasih kepada Leila S Chudori untuk buku yang membuat kita mengerti dan mengenang kisah perjuangan korban pelanggaran HAM yang selama ini jarang kita dengar.