Laku Mengubah Dunia
Kategori : Esai
Penulis : Dr. H. M. Ihsan Darwis, M.Si.*
Editor : Mursyiduddin
Saya ingin mencoba memotret kembali kegelisahan saya. Sebuah kisah nyata dari seseorang yang pernah bercita-cita ingin menggapai kenikmatan dan kebahagiaan hidup. Dia berpikir bahwa dengan mengubah dunia, cita-cita tersebut bisa diraih. Namun, pada kenyataanya dia tidak memiliki kekuatan untuk mengubah dunia. Lalu dia turunkan targetnya untuk mengubah bangsanya, itu pun masih gagal dalam hidupnya. Lalu dia turunkan lagi targetnya untuk mengubah suku, ras, dan etnis, itu pun masih gagal. Kemudian dia turunkan lagi targetnya untuk memperbaiki keluarganya termasuk istri dan anaknya. Karena mengalami broken home, sehingga targetnya kembali menuai kegagalan. Sampai pada titik napas terakhir seseorang tersebut berada di pembaringan maut, dia sempat berucap: “Andaikan cita-cita ini bermula untuk diri sendiri, bukan bermula untuk orang lain. Jangankan istri, anak, dan keluarga bisa kita satukan dengan baik, dunia pun bisa digenggam dengan baik."
Dalam paradigma kisah tersebut, jangan pernah engkau berpikir, berimajinasi atau bertakhayul untuk mengubah dunia atau memperbaiki orang lain, ketika dirimu sendiri belum bisa engkau ubah. Itulah sebabnya Al-Qur’an menjelaskan dalam QS. Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya: "sesungguhnya Allah Swt. tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri". Ayat tersebut sering digunakan sebagai ayat motivasi, bahwa Allah Swt. tidak akan mengubah nasib seseorang menjadi lebih baik kecuali usaha dan jerih payanya sendiri.
Namun, pada kenyataan sosial di lapangan, banyak orang justru tidak mengindahkan “petunjuk” tersebut sebagai motivasi untuk menggapai cita-cita. Di zaman serba cepat ini, setiap insan pasti ingin menggapai yang namanya kenikmatan dan kebahagiaan selamanya. Tetapi berbanding terbalik dengan usaha yang dilakukan. Orang-orang ingin menggapai kebahagiaan tetapi usaha yang dilakukan minim, jadilah mereka mencari cara yang instan agar segera menggapai cita-citanya. Bahkan tidak sedikit yang mengorbankan sisi kemanusiaannya, hanya karena dirinya ingin cepat menggapai kenikmatan dan kebahagiaan. Bagaimanapun, kebahagiaan yang sebenarnya, tidak akan diperoleh tanpa jerih payah sungguh-sungguh, yang datangnya dari diri sendiri. Maka dari itu, tanamkanlah prinsip hidup mulai dari sekarang sampai seterusnya: "Janganlah hidup dalam ketakutan terhadap ketidakmungkinan, tetapi hiduplah di dalam harapan baik dan optimisme terhadap yang mungkin terjadi. Kegagalan terjadi apabila kita menyerah".
Bahagia artinya keadaan atau perasaan senang, tenteram, damai dan bebas dari segala hal yang menyusahkan diri sendiri maupun menyusahkan orang lain. Akan tetapi untuk menggapai cita-cita dan meraih kebahagiaan kadang-kadang kita terjebak pada makna "bahagia" yang cenderung bersikap hedonis dan materialistis. Hanya dengan melihat banyaknya modal ekonomi; deposito, properti, dan investasi. Dalam bahasa gaul, take and give hanya sebatas menggapai dunia yang belum tentu membahagiakan.
Dalam analisis pakar psikologi menyebutkan bahwa kebahagiaan hidup merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas positif yang disukai oleh individu tersebut. Kebahagiaan hidup ini ditandai dengan lebih banyaknya efek positif yang dirasakan individu dari pada efek negatif (Seligman, 2005). Dalam paradigma tersebut, Imam Al-Ghazali memberikan tips yakni, “ilmu dan amal". Ilmu dan amal adalah dua syarat untuk mencapai kebahagiaan. Amal yang dimaksudkan Imam Al-Ghazali sebagai pembawa kebahagiaan (riyadhah ‘latihan’) dalam memerangi syahwat diri. Karena tidak ada jalan untuk dapat melenyapkan syahwat yang terdapat dalam diri kecuali melalui riyadhah dan mujahadat. Sedangkan amal dalam bahasa lain adalah mujahadah an-nafs dengan menghilangkan sesuatu yang tidak sepatutnya, dengan cara memalingkan kekeruhan jiwa menuju dimensi vertikal, agar terhapus dari pengaruh jiwa yang kotor.
Pada akhirnya, saya hendak mengubah sedikit saja perkataan dari seorang revolusioner antiapartheid berkebangsaan Afrika Selatan (Nelson Mandela), dengan berkata "ilmu adalah senjata yang paling berbahaya karena dengan ilmu sahaja kamu bisa mengubah dunia".
* Dr. H. M. Ihsan Darwis, M.Si, lahir di Watampone, pada tahun 1969. Ia bekerja sebagai dosen Pascasarjana IAIN Parepare dan dosen di Polimarin AMI RI. Ia berdomisili di Makassar & dapat dikunjungi di Facebook @Aleena Ichan.