Kealpaan Saat Menjahit Kisah Habibie Kecil
Kategori : Resensi Buku
Penulis : Mursyiduddin
Editor : Ilo.I.D
Kealpaan Saat Menjahit Kisah Habibie Kecil

Teruntuk:

Kak Ibrah La Iman. 

Terima kasih telah merenung dan mengabadikan masa kecil Habibie.

“Kappala Luttu (Habibie Der Junge Von Bugis)” adalah sebuah novel yang mencoba menjahit masa kecil Bacharuddin Jusuf Habibie dalam dunia imaji. Dijahit oleh seorang yang datang dari Kampung La Joa (Tanah Pejuang). Ia pernah bercerita pada suatu waktu di tepian semenanjung, “Kalau ada yang bertanya tentang pekerjaan saya, sampaikan, pekerjaan saya adalah mencintai.” Lalu, senyumnya terkembang bersama hembusan angin yang membawa aroma laut. Ia bernama Ibrah La Iman, seorang yang sedang berdonasi kepada semesta lewat Yayasan Tanah Salama’ di Kota Parepare. Kappala Luttu adalah novel pertamanya yang diterbitkan oleh Sampan Institute. 

Buah karyanya yang lalu berupa buku: Sumange’ na Parepare (The Spirit of Parepare), Rasa ‘hal yang tak jatuh di bumi dan tak pula jatuh di langit tapi jatuh di hati’, Aku Berlindung dari Perasaanku Padamu, dan membuahkan antologi puisi bersama kawan-kawan Parepare Menulis yakni, Belajar Memecah Kenangan.

Novel Kappala Luttu diluncurkan di Perpustakaan Panrita Kota Parepare pada 6 maret 2024. Novel ini bersampul warna biru muda, mungkin hendak menggambarkan kecerahan. Bagian tepi sampul buku saya tampak sudah melengkung ke atas, sudut-sudutnya mulai terkelupas—terpisah antara bahan plastik dan bahan kertas. Sudah lusuh buku novel itu karena seringnya saya sentuh akhir-akhir ini. 

Novel Kappala Luttu berporos pada perkembangan tokoh utama yang diterpa dinamika kebudayaan dan letupan penjajahan di tanah air masa itu. Udding, kadang Rudy, dan sesekali Habibie dituliskan dalam aliran cerita sebagai tokoh utama. Tokoh-tokoh lainnya bermunculan, berperan sebagai pendukung tokoh utama, memberi warna dalam plot cerita. Namun, terkadang sulit dimengerti dari mana datangnya dan ke mana arah mereka. 

Udding a.k.a Rudy alias Habibie di masa kecilnya yang menyala, harus berpindah-pindah dari kampung ke kampung, meninggalkan tanah kelahirannya demi mencari daerah aman. Cita-citanya membuat kappala luttu, yang disampaikan di depan kelas saat pertama kali masuk sekolah, terus ia rawat bersama gejolak keadaan dan kenyataan yang terus menerpa dirinya. Cita-cita ditertawakan oleh teman-temannya itu sempat meredup. Angannya hendak membuat kappala luttu terpatahkan atas sebuah peristiwa yang meninggalkan trauma bagi kedalaman dirinya. Siapa dan bagaimana trauma batinnya bisa sembuh, sehingga cita-citanya membuat kappala luttu itu masih terawat dan terus ia perjuangkan? Tentu tak elok bila  saya memaparkannya di dalam tulisan ini. 

Kosakata dan falsafah Bugis yang diselipkan dalam novel ini, berhasil membuat saya tersenyum. Seperti kalimat berikut: Senge’ ka ri mula wenni, na ubali senge ki’ ri giling tinroku. Senge’ ka pada cenninna golla’e na ubali senge ki’ pada lunra’na kalukue. Senge’ ka simata jarung, na ubali senge’ ki’ sipuppureng lino. Selain itu, kalimat berikut ini juga memikat saya: Bagi Salima, gadis gorontalo itu berkeyakinan, mencintai bukanlah apa-apa dan dicintai adalah sesuatu, hingga mencintai dan dicintai menjelma segalanya. Saya tersenyum tipis kala mata ini menemukan kalimat itu dalam novel Kappala Luttu. Benar, cinta bukanlah sekadar, ia adalah angin yang bertiup sepanjang masa.

Namun, seperti halnya semua karya, pasti memiliki kekurangan. Kendati penulis berhasil menghadirkan nuansa emosional, tetapi beberapa kalimat seperti enggan memberi pembaca celah bernapas. Padahal kalimat akan lebih terasa enak bila dipangkas, tanpa mengganggu gaya penulisan. Kalimat berikut ini, misalnya: Beberapa hari setelah lukanya mulai mengering, Udding kembali ke kandang kuda dan meminta tolong bantuan La Sakkerupa mengajarkannya berkuda.

Kalimat tersebut sebenarnya sudah dipahami secara maksud, terlebih bila itu disampaikan dalam bahasa lisan. Namun, bila dicermati dan dibaca pelan-pelan, kalimat tersebut terasa kurang mengalir secara alamiah. Ada pemborosan kata dan seperti ada kata yang hilang di sana. Salah satu alternatifnya mungkin seperti ini: Beberapa hari setelah lukanya mulai mengering, Udding kembali ke kandang kuda. Ia meminta tolong kepada La Sakkerupa agar mengajarinya berkuda.

Kealpaan teknis kepenulisan lumayan banyak ditemukan dalam novel ini. Editor buku, Azwar Radhif, rasanya belum cermat dalam menangani naskah ini. Novel Kappala Luttu diperuntukkan untuk pembaca kalangan anak-anak sampai remaja, kata penulis. Namun saya bingung, kenapa novel ini tidak disematkan selaksa gambar. Bagaimanapun, anak-anak bahkan orang dewasa, ada yang cenderung senang sama buku yang bergambar. Bilamana naskah novel ini dikurasi dengan penuh ketelitian dan kesabaran, mungkin saja kealpaan teknis, seperti salah ketik, hanya sedikit yang nampak.

Habibie adalah orang yang cukup penting, memberi warna peradaban tanah air ini, terutama dalam teknologi kapal terbang. Habibie berdara-darah untuk menemukan teori retak pada kapal terbang. Sudah selayaknya, dalam meggambarkan sosok, hati dan perasaan beliau, juga dilakukan setidak-tidaknya berpeluh-peluh.

Tabe’ Kuru Sumange’.