JAMBONISASI
Kategori : Cerita Pendek
Penulis : Muliadi G.F.
Editor : Ilham Mustamin
Tentu saja, yang disebutnya kasus itu sebenarnya bukansepenuhnya kasus, ia bukan masalah yang mesti segera diselesaikan, melainkanhanya berupa sesuatu yang perlu dilewatkan saja.
Seorang petinggi partai yang sudah terkenal sebagaipenipu dan pencuri, berencana datang ke kota Hudimana. Ia akan datang bersamaseorang koleganya sesama pencuri. Kami, para guru dan siswa Sekolah Dasar yangkebetulan berada di pinggiran kota, diminta untuk menyambut mereka. Begitu jugadengan sekolah-sekolah lainnya. Yakni dengan berbaris di pinggir jalan menunggurombongan bapak-bapak itu lewat, untuk melambai-lambaikan bendera jambonpartai.
Partai Harimau Jambon, demikian nama partai tersebut.Benderanya berwarna jambon, dengan simbol seekor harimau, ya, harimau jambon.
Sepulang sekolah siang ini, kami semua sudah berkumpuldi tepi jalan. Kabarnya mereka akan lewat kurang dari sejam lagi.
Anak-anak telah kami bagi ke dalam dua banjaranpanjang, yang memenuhi kedua sisi jalan. Masing-masing sudah siap denganbendera-bendera kecil mereka.
Bendera-bendera itu dikirimkan secara cuma-cuma olehKepala Dinas Pendidikan kota, orang yang membisiki kepala sekolah kami mengenaikabar kedatangan sang petinggi partai. Kudengar kabar pula, bahwa orang itujuga dibisiki oleh Bapak Walikota, yang notabene salah seorang pengurus partaiyang sama. Adapun yang membisiki orang tersebut terakhir ini, manalah mungkinaku tahu?
Aku hanya seorang guru honorer di sekolah, tidak punyaakses yang mampu menjangkau bisik-bisik di atas sana. Sedikit yang berhasilkutahu bisa dibilang hanya keberuntunganku saja, itu pun sampai ke telingakumelalui bisik-bisik pula, yakni bisik-bisik yang berisik, yang tentu berbedadari bisik-bisik yang betul-betul disampaikan dengan berbisik.
Aih, berisik sekali anak-anak ini! Tidak bisakahmereka berbisik-bisik saja? Mereka membuyarkan gerutuan dalam hatiku.
Siang begitu panas. Rasa letih setelah mengajarmenduduki pundak, memberati badan yang sedari tadi sudah merengek mintarebahan. Aku tahu, anak-anak itu pun sama letihnya denganku. Tapi kami belumbisa pulang sebelum bapak-bapak itu lewat.
Setelah satu jam menunggu, dari kejauhan terdengar wiuwiu mobil pasukan pengawal. Kemudian, di bawah gapura perbatasan, tampaklahsebuah mobil berwarna jambon. Karena tanah jalan di bawah gapura lebih tinggi,kemunculan mobil itu tak ubahnya matahari terbit—matahari yang juga berwarnajambon. Di depan mobil, terpentang selembar spanduk bergambar wajah pasanganyang kami tunggu.
“Ayo berdiri yang rapi, Anak-anak!” kataku menegurbeberapa orang anak yang tengah jongkok. “Kalau mereka lewat, jangan lupalambaikan bendera kalian ya!”
Anak-anak tampak gembira. Mungkin mereka juga sadarini pertanda mereka akan segera pulang.
Sebentar lagi mobil itu lewat di tengah kami.
“Sekarang saatnya, lambaikan bendera kalian!” kataku.
Kaca jendela mobil terbuka lebar. Dua wajah lelakibersongkok jambon tersenyum lebar membalas lambaian anak-anak. Itu mereka,tanpa sisa rasa bersalah di wajah keduanya. Tampak semringah, begitu segarsenyum mereka. Salah seorang mengulurkan tangannya yang penuh cincin akik warnajambon ke luar, mencoba menyentuh tangan anak-anak yang segera berebutan,sementara mobil berjalan perlahan.
Saat rombongan itu telah menjauh, kami menyuruhanak-anak pulang. Aku melihat mereka begitu gembira. Apakah semata karena sudahsaatnya pulang? Ataukah gembira karena telah melihat langsung dan bersalamandengan bapak-bapak itu? Ah, anak-anak... suatu saat nanti mereka akan tahusiapa yang mereka sambut hari ini.
Setelah anak-anak pulang semua, giliran kami guru-gurupulang juga. Kunyalakan mesin motorku, dan segera kutancap gas menuju pusatkota—rumahku ada di sana.
Ternyata oh ternyata... aku lupa ada sembilan puluhdua sekolah di kota ini. Dan siang ini semua warga sekolah tumpah ke tepijalan. Sialnya, hanya ada satu jalan menuju pusat kota, yakni jalan poros yangdilewati rombongan itu.
Mobil rombongan yang berjalan meniru siput menghambatlalu-lintas. Mau tidak mau aku mengikut di belakang mereka, tak ubahnya bagiandari orang-orang partai yang datang. Aduh, kenapa begini? Rasanya aku inginteriak kepada Bapak Polisi yang mengawal, “Tilang mereka, Pak! Mereka bikinmacet saja!” Tapi manalah aku berani?
Dengan hati dongkol, aku mengekor rombongan siputjambon itu. Satu-dua uluran tangan anak-anak di bahu jalan mencoba menggapaiku,mengajak salaman. Kukatupkan helm rapat-rapat, menyembunyikan wajahku. Semataagar mereka tidak kecele, sesekali kuulurkan tanganku juga, menyambut ulurantangan mereka.
Hampir dua jam kuhabiskan di atas motor sampai akutiba di rumah. Tanpa pikir panjang lagi, kulemparkan tubuhku ke sofa ruangtamu. Letih sekali rasanya.
Istriku datang membawa air minum. Ia hanya memakaidaster, tapi tampak wajahnya bermekap.
“Kenapa? Capek?” katanya.
“Sangat,” jawabku ketus.
“Jadi ke sana sebentar lagi?”
“Ke sana mana?”
“Ke lapangan.”
“Untuk...?”
“Lha, bukankah kita warga di sini diminta datang kelapangan menyambut petinggi partai Harimau Jambon? Itu, ada undangannya, darikelurahan.” Istriku menunjuk undangan berwarna jambon di meja.
Aaaaah! Kututupkan bantal sofa ke wajahku.
“Ayo, Kak! Kita siap-siap sekarang,” istrikumenarik-narik lenganku.
Aku menguatkan tindihan bantal ke wajahku. Istrikuterus saja menarik-narik lenganku. Aku tidak bicara-bicara lagi, aku tak sanggup.Sekarang aku hanya ingin tidur. Atau setidaknya pura-pura tidur.
“Kakak kan salah satu tokoh pemuda di sini, apa katayang lain kalau Kakak tidak datang?” kicau istriku.
Jengkel betul.
“Bilang saja saya sakit,” kataku.
“Sakit apa?”
“Sakit hatiiii!”
Barulah setelah itu istriku masuk kamar. Aku tahu iajengkel juga. Tapi sudahlah, biar saja. Paling-paling sebentar ia manja lagi.
Tak lama kemudian kudengar langkah-langkahnyamendekat. Betul kan, dia sudah kembali?
Dari balik bantal sofa, bisa kuhidu wangi parfum disekelilingku. Bantal kuturunkan, dan mata kubuka. Istriku mengenakan gaunberwarna jambon, sambil membawa di tangannya selembar kemeja berwarna jambonuntukku.
“Ini, pakailah!”
Aduh.
(Dipublikasikandi harian Fajar, Minggu 22 Januari 2017)
Muliadi GF, cerpenis kelahiran Bojo, Kab. Barru. Bukunya yang telah terbit berjudul Cerita dari Negeri Siput (2017) dan Al-Fatihah untuk Pohon-Pohon (2018).