Hal Menjanggal di Atap Sulawesi
Kategori : Esai
Penulis : Mursyiduddin
Editor : Tim Sampan Institute
Sungai-sungai berair jernih mengalir di sela-sela pegunungan itu, berantai tiada henti. Mengisi daya telinga orang-orang sepanjang waktu, menciptakan suasana yang seolah alam liar dekat dari pemukiman ini. Suara orang-orang besahut-sahutan dan suara yang tercipta dari alat elektronik sesekali terdengar jua. Beragam jenis tumbuhan, terlihat menghijau membungkus pegunungan itu, sedang kabut putih serupa kapas seolah menyelinap keluar dari rapatan pepohonan lalu bergelayut tenang di udara. Di sini, ujung jemari tangan dan kaki saya sudah kekurangan kemampuan meraba, sebab suhu udara sudah berjalan mundur.
Demikian sebuah potret kecil dari Dusun Karangan, merupakan dusun terakhir sebelum menuju pintu rimba pendakian, yang terletak di lereng pegunungan Latimojong. Dusun ini juga masuk sebagai salah satu jalur pendakian, yang biasa disebut jalur karangan, merupakan jalur umum. Jalur-jalur lainnya seperti; jalur Angin-Angin, jalur Karuaja, dan ketika kita masuk dari Luwu Timur kita bisa melakukan pendakian melalui jalur Tolajuk. Dari beranda rumah Pak Dusun Karangan, puncak tertinggi dari pegunungan Latimojong belum bisa saya lihat dengan mata, sebab terhalang jarak, pundakan dan kabut tebal.
Pegunungan Latimojong atau biasa digelari Atap Sulawesi, merupakan dataran tertinggi di Pulau Sulawesi. Membentang dari selatan ke utara, sebagian besar kawasannya terletak di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Sebelah barat pegunungan Latimojong adalah Kabupaten Enrekang, sebelah utara Kabupaten Tanah Toraja, sebelah selatan adalah Kabupaten Sidenreng Rappang dan sebelah timur keseluruhan yakni wilayah Kabupaten Luwu hingga di tepi pantai Teluk Bone.
Pegunungan Latimojong masuk dalam The Seven Summits Of Indonesia atau 7 puncak tertinggi di 7 pulau/kepulauan besar Indonesia yang berada di urutan kelima tertinggi. Pegunungan Latimojong bukanlah gunung berapi yang dalam waktu tertentu mengeluarkan gas, abu, lahar dan sebagainya. Melainkan, jajaran pegunungan dengan jenis nonvulkanik—tidak memiliki aktivitas vulkanik, yang memiliki nama pada setiap puncaknya. Puncak tertinggi pegunungan Latimojong bernama Rante Mario yang bermakna tanah bahagia, dengan ukuran 3.478 mdpl (Meter di atas Permukaan Laut). Disusul puncak tertinggi kedua adalah Nene Mori dengan ketinggian 3.397 mdpl. Warga lokal bilang, di puncak ini Nene Mori biasa memainkan alat musik sejenis biola yang terdengar hingga ke lembah.
Selanjutnya, Puncak Tinabang dengan ketinggian 3.220 mdpl yang bermakna tanjakan panjang. Lalu, ada puncak yang diberi nama Puncak Bubundirangkan 3.217 mdpl yang bermakna sumur yang digali dengan tanah. Kemudian, puncak Kampurampangan dengan tinggi 3.124 mdpl, Kampurampangan artinya kapur yang dipakai untuk nyirih—semacam orang makan pinang. Lalu kemudian puncak yang bernama Buntu Tillok 3.037 mdpl yang berarti gunung yang berbentuk seperti paruh burung. Selanjutnya adalah Puncak Pokapinjan dengan tinggi 2.970 mdpl, yang dalam bahasa Indonesia berarti pecahan piring. Puncak berikutnya yakni Pantealoan, ketinggian 2.650 mdpl di puncak ini kita akan terpapar langsung cahaya matahari saat langit cerah. Dan terakhir adalah Puncak Buntu Batu yang berupa batu raksasa yang menonjol.
Itulah kesembilan nama puncak yang ada di pegunungan Latimojong. Kita bisa menapaki puncak-puncak itu, bila memilih lewat jalur dusun Angin-Angin lalu turun di dusun Karuaja. Sebenarnya masih ada puncak-puncak lain yang belum saya ketahui perihal informasinya.
Ketika memulai pendakian, perlahan demi perlahan menanjak, fisik dan mental juga pelan-pelan digasak. Namun, hamparan lautan awan dan kabut tebal yang berhamburan adalah teman bagi para pendaki pegunungan Latimojong, terutama ketika sudah berpijak di atas ketinggian 1.000-an dari permukaan laut. Baik lautan awan yang cerah ataupun kabut tebal yang suram, sama saja, dingin tetap mengiris ke dalam tubuh. Selama pendakian, saya mengalami apa yang disebut panas-dingin. Kulit-kulit luar tubuh terasa dingin, sementara dalam tubuh menghasilkan panas akibat dari anggota tubuh yang terus bergerak. Saya melatih diri merasakan segala hal sebelum menggapai puncak. Menarik, saudara Jaya, pernah mengatakan; titik puncak atau titik akhir pendakian sesungguhnya bukanlah tiang triangulasi yang ada di atas, melainkan titik di mana kita memulai langkah. Karena, baginya titik start itu jugalah menjadi titik finish. Titik di mana kita benar-benar tiba di kepulangan.
Dari tangkapan kamera pesawat tanpa awak, hanya dikendalikan dengan remote control, gugusan pegunungan Latimojong tampak indah dan elegan dengan vegetasi hijau menyelimuti. Indah sekali di mata saya. Namun sayang, pegunungan Latimojong tetap saja tidak merdeka dari sampah-sampah manusia. Saya telah menyaksikan, setiap singgah dalam pendakian, selalu ada saja kemasan-kemasan makanan instan dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar. Sampah di kehidupan modern ini sudah mudah sekali ditemukan, selain di ketinggian, juga di tempat terdalam sekalipun. Di dasar Palung Mariana dengan kedalaman hampir 11 km telah ditemukan sampah plastik dan kemasan permen oleh penyelam asal Amerika Serikat.
Katakanlah, sebagai contoh kemasan kopi instan, umumnya terbuat dari bahan plastik atau kertas dengan lapisan aluminium. Ketika dibuang begitu saja di tengah hutan, bakalan bertahan tidak terurai berabad-abad lamanya, hanya secara perlahan akan terpecah menjadi mikroplastik. Hewan-hewan dengan sengaja atau tidak akan mengonsumsi sampah kecil-kecil itu. Makhluk-makhluk yang hidup di situ akan terganggu ketenangan hidupnya. Sudah pasti keasrian hutan akan terdegradasi.
Selain merusak lingkungan, kemasan kopi instan yang tidak dibuang pada tempatnya dapat membawa penyakit. Jika kemasan itu mencemari aliran air, orang yang mengonsumsi air tersebut berisiko terkena penyakit karena kontaminasi zat-zat berbahaya. Pada waktu bersamaan, mikroplastik yang terdapat dalam air minum juga dapat masuk ke tubuh manusia yang berpotensi menimbulkan masalah kesehatan.
Keindahan Atap Sulawesi lamat-lamat akan melapuk. Jika tidak disadari, maka sekian tahun ke depan kecantikan dan keanekaragaman makhluk hidup di hamparan pegunungan Latimojong yang pemurah itu hanya menyisakan kenangan. Kalaupun disadari lantas diabaikan begitu saja, maka sama saja, cerita buruk tentang pegunungan Latimojong, kian hari, akan semakin kental terdengar. Untuk kawan-kawanku; ngopilah! Dan tetaplah bijak di tengah era gempuran ini. []
Mursyiduddin, penulis dan tukang kebun. Alumnus S-1 Sastra Arab di IAIN Parepare. IG: @_mursyid